Sabtu, 03 Oktober 2015

Bulan Matekodar Pada Puasa Ke Tujuh Belas

Benci, dendam, syirik, adalah tiga hal utama yang harus dijauhkan dari kehidupanku. Demikian pesan Bunda Dedeh saat aku meminta sarannya setelah aku menderita stress berat ditinggal oleh Burhanudin, suamiku menikah lagi dengan Suzana, janda tetangga sebelah rumah.

Yang harus aku jalani, kata Bunda Dedeh, adalah berserah diri secara total kepada Allah, hidup ikhlas dan mempertebal keyakinan bahwa setiap musibah akan ada hikmah yang besar di belakang musibah itu.

Harus ada keyakinan yang besar saat derita itu diturunkan untukku, akan ada bahagia yang belimpah di belakangnya.

Caranya, adalah dengan makin intensif mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dengan melakukan secara total perintahnya dan menjauhi secara total pula larangannya. Berat,benar-benar berat mengelola perasaan, pikiran dan hati yang benci, dendam dan iri yang berkembang di kedalaman batin ini. Sebab kejahatan yang dilakukan Burhanudian dan Suzana itu, benar-benar sudah sangat jahat dan semua tetanggaku mengakui bahwa kenyataan itu begitu pahit karena terjadi tidak jauh dari rumahku.

Bahkan banyak orang yang mengatakan Burhanudin dan Suzana itu sudah gila. Selain teman, tetangga dan warga se-erte, dia juga selama ini seperti bersaudara dengan aku. Namun karena hawa nafsu, dia tega betul mengkhianati pertemanannya denganku, dengan secara diam-diam berselingkuh dengan suamiku lalu menikah dengan Burhanudian, bapak dari tiga anak-anak gadisku. Duh Gusti!

Pada tanggal 12 November 2001 aku menikah dengan Burhanudin. Lamaran keluarganya kepada ayahku di Baturaja, langsung diterima dan kami direstui menjalani akad nikah. Resepsi dilakukan di kampungku di Sumatera Selatan dengan upacara pesta tradisional. Setelah pesta nikah, kami kembali ke Jakarta dan bekerja di tempat pekerjaan masing-masing. Burhanudin sebagai pegawai Bank Tempo, sedangkan aku bekerja sebagai staf perusahaan multimedia Indo Art.

Satu tahun setelah menikah, kami dikaruniai Tuhan anak perempuan, Lisa,yang terlihat sangat jelita. Kebahagiaan perkawinan kami makin sumringah setelah hadir anak pertama yang lucu dan menggemaskan ini. Tetangga sangat menyukai anak kami, sehingga baby sitter yang mengasuhnya, Endang, tidak begitu banyak mengasuh Lisa, di mana para ibu-ibu tetangga selalu rutin menggendong Lisa dan membawa anak kecilku itu ke rumah mereka. Bahkan, Suzana, janda sebelah, empat rumah dari rumahku di kompleks Buana Jaya Estate, selalu menyediakan susu dan makanan suplemen untuk Lisa. Setiap hari Lisa dibawa ke rumahnya dan sering tertidur siang di rumahnya yang terbagus di kompleks kami.

Suzana, dikenal sebagai janda muda yang kaya raya karena mendapatkan warisan besar dari orangtuanya di Pekanbaru. Suzana adalah anak tunggal dari keluarga Rusman Sumardi, raja tanah yang menguasai 50 persen lahan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau itu. Mantan suami Suzana, warga Brunai Darussalam, Tengku Asikin, juga raja minyak, pengelola 45 persen ladang minyak negeri Brunai Darussalam yang memasok minyak mentah terbesar di Amerika Serikat. Tengku Asikin masih memberikan tunjangan kepada Suzana dalam bentuk petro dolar karena hubungan mereka tetap baik walau secara hubungan nikah mereka telah bercerai.

Dasarnya, Tengku Asikin memiliki seorang anak laki-laki dari Suzana yang kini tinggal di Brunai Darussalam. Hukum pengadilan perkawinan setempat, pada saat mereka bercerai, memutuskan bahwa anak tunggal mereka itu hak perwaliannya jatuh kepada Tengku Asikin.

Suzana menerima keputusan itu tanpa banding, sebab Tengku Asikin menjanjikan tunjangan uang seumur hidup untuk Suzana. Jadi, walau Suzana menganggur tidak bekerja, namun saldo deposito bank nya sangatlah besar. Dari suamiku, Burhanudin, aku mengetahui bahwa uang deposito Suzana sebesar lebih dari Rp. 2 trilyun. Undang-undang kerahasiaan bank melarang orang lain mengetahui jumlah deposito atau lalu lintas transfer yang dilakukan nasabah. Tapi karena suamiku dapat akses untuk menelusuri semua deposito lewat Bank Tempo, maka semua jumlah deposito orang dia dapat mendeteksinya, termasuk uang besar milik Suzana tetangga kami.

Pada tahun 2005, anak kami sudah menjadi tiga. Tapi ketiga anak kami itu semuanya perempuan. Namun walau semuanya perempuan, hal itu tidak mengurangi rasa cinta dan kebahagiaan kami bersama anak-anak. Kami selalu rutin setiap ada hari cuti, pergi ke Bali dan Lombok, kami bersenang-senang di daerah wisata tersohor di antero jagat itu. Namun sesekali kami juga pergi ke Hawai, Macao, Pegunungan Alpen Swiss untuk menikmati hidup. Burhanudin sangat memperhatikan aku dan anak-anak, begitu juga dengan Suzana, sangat memperhatikan anak-anakku dan menjadikan ketiga anakku bagaikan anak nya sendiri.

Hubunganku dengan Suzana sangatlah dekat. Tidak ada tanda-tanda ganjil dan aneh yang terjadi selama ini atas perjalanan hubungan harmonis itu. Namun, suatu hari ada kata-kata Suzana yang cukup mengganggu hatiku, di mana Burhanudin pernah bercerita dengannya bahwa suamiku ini sangat merindukan anak laki-laki. Otak jernihku mulai terganggu saat itu di mana sangatlah ganjil bila suamiku pernah mengatakan kepada Suzana bahwa dia masih kepingin anak laki-laki, kok bukan menyatakan hal itu kepadaku. Sementara kepadaku, Burhanudin tidak pernah sepatah katapun bercerita tentang hal yang menyangkut anak laki-laki itu.

Namun pada suatu waktu yang santai, aku bertanya pada Burhanudin, mengapa dia bercerita kepada Suzana hal keinginannya akan anak laki-laki, kok bukan menyatakan hal penting itu kepadaku. Burhanudin tersentak lalu membantah hal itu, bahkan dia tidak mengaku sama sekali tentang curhatan hatinya itu kepada Suzana.

"Apa urusannya aku menceritakan hal itu pada Suzana? Ngapain? Tidak benar itu, tidak benar aku bercurhat kepada Suzana menyangkut soal anak laki-laki yang kuinginkan!" bantah Burhanudian, serius.

Namun, saat aku akan mengkonfrontir hal itu dengan Suzana, Burhanudin nampak gelagapan. Bahkan dia melarang aku untuk membahas hal itu. "Tidak perlulah dibahas lagi, biar kau tahu sajalah, bahwa hal itu tidak benar dan aku tidak pernah bercurhat kepada Suzana!" desis Burhanudin.

Karena aku percaya dan kepingin mempercayai suami sepenuhnya, maka aku menuruti saja keinginannya itu. Untuk itulah aku mendiamkan hal itu dan tidak pernah membahas kasus itu sama sekali kepada Suzana. Percaya dengan suami, prinsipku, adalah kewajiban dan hal itu dianjurkan penasehat rumah tangga agar perkawinan tetap harmonis. "Percayalah sama aku, aku tidak akan membohongimu sampai kapanpun. Aku tidak mungkin dan tidak akan mungkin bercurhat pada orang lain kecuali kepadamu. Akan sangat tidak pantas bila aku bercurhat pada janda muda yang kaya raya seperti Suzana itu, tidak etislah!" kata Burhanudin.

Kerena dedikasi dan ketekunannya bekerja, maka pada tahun 2006 Burhanudin diangkat menjadi kepala cabang Bank Tempo di Kota Bogor. Walau perjalanan ke kantor sepanjang 120 kilo meter perhari, hal itu dijalani Burhanudin dengan enteng. Dia tidak ingin mengajak kami pindah ke Bogor dan berusaha setiap hari pulang balik selama empat jam ke daerah ini. Jarak dari rumah ke kantornya adalah 60 kilometer, ditempuh dengan waktu dua jam dari rumah. Mobilnya masuk tol Jakarta lalu pindah ke tol Jagorawi, keluar di Ciawi lalu belok ke kanan menuju kantornya di Kota Bogor Tengah. Bila pulang ke rumah,

Burhanudin sudah cukup malam, bisa sampai pukul 21.00 atau beberapa kali pula sampai di rumah pukul 24.00. Burhanudin terlihat lelah dan letih sekali, hingga waktu berbincang dengan aku makin berkurang. Bahkan, kepada anak-anakpun, Burhanudin tidak lagi dapat bicara.Anak-anak belum bangun Burhanudin sudah memacu sedannya keluar rumah, sedang dia pulang, anak-anak sedang terlelap. Waktu berkumpul dengan anak-anak hanya ada satu hari dalam satu minggu, yaitu pada setiap hari minggu. Sedangkan hari Sabtu, dia masuk kerja karena kebijakan bank itu, tidak meliburkan karyawan di hari Sabtu.

Ambisi kerja Burhanudin mencapai karier terbaiknya, sangatlah besar. Keinginannya menggebu-gebu untuk menjadi direktur utama di pusat membuat dia bekerja banting tulang dan terus mendalami ilmu pengelolaan bank.Bahkan, untuk keilmuan bidang bank itu, Burhanudin mengambil pendidikan program S-3 bidang bank dan hal itu dilakukannya di malam hari di sekolah magister management. Setelah berhasil mendapatkan gelar S-3 bidang keuangan dan perbankan, Burhanudin ditarik ke pusat menjadi direktur pemasaran. Hal itu terjadi pada tahun 2007 dan kami semua diundang dalam satu pesta penobatan di gedung Manggala Wanabhakti, Senayan dalam suatu upacara yang meriah.

Karena omzet dan keuntungan terus meningkat sejak ditangani Burhanudin, maka suamiku diangkat pula sebagai direktur utama, setelah direktur utama yang lama meninggal dunia akibat sakit jantung. Rapat dewan komisaris memutuskan dua nama yang diandalkan sebagai kandidat direktur utama, Burhanudin dan Edward Sirait. Tapi dewan komisaris mayoritas, memilih Burhanudin setelah terjadi deadlock dan Edwad mendapat suara minoritas.Sejak bertengger sebagai direktur utama, Burhanudin semakin sibuk.

Aku dan anak-anak makin jarang bertemu dengan dia. Bahkan belakangan dia banyak ke luar negeri, terutama ke Brunai Darussalam yang menjadi tempat untuk cabang luar negeri. Sementara itu, Suzana, berpamit pulang ke kampungnya di Riau, mengurus sakit Pekanbaru. Pengusaha raja tanah perkebunan kelapa sawit itu terserang penyakit ginjal dan memerlukan perawatan khusus. Bahkan, kata Suzana, ayahnya akan melakukan cangkok ginjal di Cina dalam waktu dekat.

Karena perusahaan multimedia tempatku bekerja bangkrut, maka aku pun di PHK. Maklumlah, perusahaan itu perusahaan kecil yang dimodali oleh tiga mahasiwa, di mana uang modal mereka sangatlah terbatas. Aku dipecat tanpa ada pesangon sama sekali, kecuali gaji ke tiga belas yang seharusnya diberikan menjelang lebaran. Aku menelpon Burhanudin soal pemecatan itu dan Burhanudin meminta aku bersabar dan berdiam saja di rumah mengurus anak-anak. Belakangan, aku benar-benar menjadi ibu rumah tangga, aku memasak, mencuci dan mengurus anak, walau kami punya dua pembantu.Karena aku ingin mengurus semua pakaian dalam sendiri, tanpa menyerahkannya pada pembantu, maka aku mencuci sendiri dan juga menyetrika untuk pakaian dalam aku, anak-anak dan pakaian dalam suamiku.

Sejak kantor cabang di Brunai dan Malaysia terbentuk, Burhanudin banyak pergi ke dua negara tetangga itu. Terkadang berminggu-minggu suamiku itu di luar negeri dan sangat jarang bertemu aku dan anak-anakku. Kami hanya berkomunikasi lewat telpon dan kami sangat mendukung kesuksesannnya. Namun, pada suatu ketika, saat aku bertelpon dengan Sartika, staf bank Tempo, aku tersentak kaget.

Dikatakan oleh sartika, bahwa suamiku itu telah mengundurkan diri dari bank Tempo dan Edward Siarait yang mengganti kedudukan dirut. Aku segera mencheck hal itu kepada Pak Edward dan Pak Edward menyatakan benar.Dengan jantung berdetak lebih cepat, aku segera menelpon Burhanudin yang katanya sedang berada di Singapura. Kutekan Burhanudin dengan pertanyaan soal pengunduran dirinya itu dari Bank Tempo itu.

Dengan gelagapan, Burhanudin pun mengakui bahwa dia sudah berhenti dari Bank Tempo dan sekarang sedang membangun bank baru yang sedang menunggu perijinan dari Bank Indonesia. Aku marah besar kepadanya karena dia telah berbohong kepadaku dan mengapa selama ini tidak mengatakan hal yang benar kepadaku.

Kini Burhanudin mengakui jujur bahwa dia sedang memproses akuisisi, pengambil-alihan bank yang sudah kalah kliring, Bank Untung Abadi, sebutlah begitu, untuk dijadikan bank miliknya pribadi. Namun di balik pengusahaan pengambil-alihan bank Untung Abadi itu, aku mendapatkan bocoran yang menyakitkan, bahwa Burhanudin berinvestasi berdua bersama Suzana. Kini Burhanudin dan Suzana berada di Pekanbaru untuk membangun bank daerah di kawasan provinsi Riau tersebut. Isu yang aku dapatkan sangatlah akurat karena dibocorkan oleh saudara misan Suzana, Amir Aminudin, yang datang mendadak ke rumah Suzana yang kosong di sebelah rumahku.

Amir Aminudin minta aku merahasiakan kasus itu dan wanti-wanti untuk tidak membocorkan rahasia itu kepada siapapun, terutama kepada saudara sepupunya Suzana dan Burhanudin suamiku. Bahkan, jantungku nyaris berhenti dan kepalaku nyaris pecah saat aku mendengar cerita Amir bahwa Burhanudin dan Suzana sudah dua bulan menikah di Pekanbaru dan mereka se rumah di Jalan Sudirman 9634 D yang mewah di ibukota Riau tersebut.

Dari pemberian alamat lengkap Amir ini aku segera melakukan kros check dan pengamatan mendalam atas isu itu.Dengan pesawat Garuda Indonesia Airways aku berangkat ke Pekanbaru bersama tiga anakku, Lisa, Dina dan Wanti, tanggal 13 Juli 2008. Sesampainya di bandara Simpang Tiga, Pekanbaru, kami betiga naik taksi menuju alamat yang diberikan Amir. Dalam perjalanan, jantungku berdetak kencang dan kepalaku terasa oleng dan kosong. Anak-anak aku peluk dengan erat di taksi dan aku mengusap rambut ketiganya sebagai bahasa kalbu ku yang menyatakan, bahwa aku sangat mencintai mereka dan tak akan meninggalkan mereka sampai kapanpun. Kecuali bila Allah telah memanggil aku untuk kembali kepada-Nya.

Sesampainya di alamat yang dituju, pagar kebetulan terbuka dan kami bertiga masuk ke halaman rumah mewah gaya gothic Paseo de Garsia itu. Di tengah gejolak batinku yang kelabu dan jantung yang berdebar hebat, aku mendorong pintu depan yang tidak terkunci, gedubrak! Oh Tuhan, aku melihat pemandangan yang sangat menyakitkan dan menohok berat penuh beban di kedalaman hatiku.

Di sofa depan Burhanudin sedang menimang bayi laki-laki yang di sebelahnya Suzana sedang tertawa ceria kepada suamiku itu.Alkisah, ternyata menghilang selama satu tahun belakangan yang katanya mengurus ayahnya yang sakit, Suzana hamil dan melangsungkan pernikahan dengan suamiku di Riau. Apa yang dikatakan Amir benar adanya dan omongannya itu dapat dipertanggungjawabkan. Burhanudin tersentak dan Suzana langsung berdiri kaget melihat aku dan tiga anakku hadir di situ.

Aku segera mendatangi Burhanudin dan menampar mukanya. Setelah itu aku meludahi Suzana dan melemparnya dengan asbak. Asbak itu menyentuh keningnya dan jidatnya memuncratkan darah. Anak-anakku berteriak menangis lalu aku segera membawa mereka keluar dan kami naik taksi menuju bandara.Terakhir aku bersumpah kepada Burhanudin, bahwa dia harus ceraikan aku. Jika tidak, aku yang akan menggugat cerai. "Najis aku untuk tetap menerimamu, sampai kapanpun!" bentakku. Kepada Suzana aku menyumpahinya, biar kuwalat untuk seorang pengkhianat.

Kukatakan dia dengan kata nyelekit, bahwa dia janda gatal, janda jablai dan segala macam kata yang kutujukan agar perasaannya menjadi sakit. Berimbang dengan rasa sakit yang kuderita saat ini. Setelah itu kami kembali naik pesawat dan dengan linangan airmata di pesawat Garuda menuju Jakarta.Esok harinya, dalam keadaan stress berat aku mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama Jakarta Pusat di Jalan K.H.Mas Mansyur.

Di peradilan aku disarankan untuk mediasi dan berdamai namun aku dengan mentah-mentah menolak. Tapi setelah keluar ruang panitra, ada seorang ibu yang berwajah bijak, menyalami aku. Dengan suara lembut ibu itu mengajak aku duduk berdua di satu pojok beranda pengadilan. Ibu itu mengerti perasaanku, mengetahui secara supramistik kegalauan hatiku. Dengan teduh wajah ibu itu menggiring agar aku bersabar, tawakkal dan berserah diri kepada Allah.

Si Ibu, ternyata Bunda Dedeh, seorang ustadzah yang mengaku ulama "jalanan" yang dengan suka rela mengabdikan hidupnya pada kepentingan sosial. Dia menyelami, mendalami dan merasakan betapa pahitnya hidupku, betapa bencinya, dendamnya dan irihatinya aku melihat kenyataan suami juga teman baik yang mengkhianati itu. Matanya yang teduh, bagaikan menembus ke dalam sanubariku dan membaca semua perasaanku dengan lantang dan tepat.

"Satukanlah cintamu kepada Allah dan pertinggilah sikap berserah diri mu kepada-Nya. Tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan, tidak ada penyakit yang tidak disertai dengan obat. Hatimu sedang sakit, pikiranmu sedang tidak sehat, dan sehatkanlah dengan berserah diri kepada Allah, yakinlah, semua kegalauanmu akan tuntas dalam waktu singkat!" desis Bunda Dedeh, bunda yang bernama asli Nur Syakinah yang berasal dari Garut, Jawa Barat itu.

Sejak itu hubunganku dengan Bunda Dedeh begitu dekat. Aku sering ke rumahnya dan dia pun intensif ke rumahku meneduhkan aku dan anak-anakku. Namun kabar berita Burhanudin dan Suzana kututup rapat-rapat dan aku tidak mau tahu lagi soal mereka. Namun, Bunda Dedeh berhasil meneduhkan batinku, berhasil membimbing aku lebih intensif berserah diri kepada Allah, beribadah, berdoa dan tafakur ke pangkuan-Nya.

"Suatu malam, saat usai tahajut, bila kau menemukan atau melihat sesuatu yang unik di malam Ramadhan ke 17, mintalah kepada Allah apa yang kau mau minta. Pada malam ganjil tengah Ramadhan itu. Setiap doa akan diizabah dan kau akan mendapatkan apa yang kau minta!" pesan Bunda.

Benar saja, pada malam ke 17 Ramadhan tahun 2009, aku menemukan matekodar, bahasa komering lailatulkodar, bulan yang nyangsang di pohon mangga depan rumahku. Dengan dada setengah gugup aku minta kesehatan, minta kebahagiaan dan keselamatan hidup. Setelah itu, bulan itu seperti terbang ke asalnya di atas kejauhan langit.

Menjelang lebaran, Burhanudin datang bersama Suzana dan anaknya ke rumah. Karena sudah ikhlas, penuh berserah diri, anehnya, aku dapat menerima mereka dengan baik-baik. Bahkan saat Suzana meminta aku untuk menerima Burhanudin, tidak bercerai, aku pun mengangguk. Kami sekarang bermadu dan hidup berbahagia dengan tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki dari Suzana.

Kami hidup sangat berbahagia, kompak bahu membahu, berdampingan hidup secara nyaman, tenteram dan penuh kasih sayang. Kata Bunda Dedeh, Allah telah menyuratkan surat penting dalam kitab suci, Surat Annisa, bahwa diperboplehkan bagi laki-laki untuk menikahi beberapa perempuan. Surat ini penuh makna dan maksud yang dalam, bahwa cinta yang terbesar itu harus kepada Allah, bukan kepada suami dan anak-anak lalu si isteri harus mendominasi mereka.

Perempuan muslimah harus melahirkan banyak anak Islam yang kelak akan menjadi mayoritas di bumi persada ini. Menyebarlah anak-anak Islam dari beberapa milyar wanita muslimah menjadikan bumi ini dipenuhi oleh pemeluk Islam sejati. Kata Bunda Dedeh, banyak sekali kaum istri belakangan yang berdemo anti poligami, padahal poligami itu untuk kebaikan.

Jika tidak baik bagi kemanusiaan, Allah tidak akan menyuratkan titah-Nya di dalam surat Annisa, kitab suci yang agung dan superpenting bagi kemanusiaan. Permintaan bahagia, nyaman dan tentram ku kepada bulan matekodar puasa ke 17, diartikan Bunda sebagai keikhlasanku untuk menerima suamiku berpoligami dan mencintai maduku dengan sepenuh hati.

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.