Kamis, 03 September 2015
Sejarah Suku Samin

Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar[butuh rujukan], di Kediren, Randublatung, Blora Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang bernafaskan wong cilik.
Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan Brotodiningrat dengan gelar pangeran Kusumaniayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten ponorogo) pada 1802-1826. Samin Surosentika adalah pendiri dan pelopor Ajaran Samin yang disebut juga Saminisme.
Ajaran saminisme ini mula-mula tidak dilarang oleh Pemerintah kolonial Belanda. Namun ketika pengikutnya bertambah banyak dan Samin diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam pada tanggal 8 November 1907, maka pemerintah Belanda menjadi was-was sehingga Samin Surosentiko akhirnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa bersama delapan orang pengikutnya.
Samin wafat dalam pengasingan (ia diasingkan oleh Belanda) di kota Padang, Sumatera Barat pada tahun 1914.
Ajaran Samin

Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi.
Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.
Ajaran
Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:
- tidak bersekolah,
- tidak memakai peci, tapi memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
- tidak berpoligami,
- tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
- tidak berdagang, dan
- penolakan terhadap kapitalisme.
Penyebaran
Tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan kawasan Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan, atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut peta sekarang.
Pokok-pokok ajaran Saminisme
Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:
- Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
- Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
- Bersikap sabar dan jangan sombong.
- Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
- Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur "ketidakjujuran". Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."
Sikap
Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.
Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.
Bahasa
Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.
Pakaian
Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.
Sistem kekerabatan
Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.
Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.
Pernikahan
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan "Atmaja (U)Tama" (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian: " Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua."
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.
Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.
Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):
Saha malih dadya garan (Maka yang dijadikan pedoman)
Anggegulang gelunganing pembudi (Untuk melatih budi yang ditata)
Palakrama nguwoh mangun (Pernikahan yang berhasilkan bentuk)
Memangun traping widya (membangun penerapan ilmu)
Kasampar kasandhung dugi prayogântuk (Terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai)
Ambudya atmaja 'tama (Bercita-cita menjadi anak yang mulia)
Mugi-mugi dadi kanthi (Mudah-mudahan menjadi tuntunan)
Sikap terhadap lingkungan
Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
Pemukiman
Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di samping rumah.
Upacara dan tradisi
Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.
Masyarakat Samin saat ini
Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik, aluminium, dan lain-lain.
POTRET PERLAWANAN SUKU SAMIN ATAS PAJAK
Di Tiga Tempat ditengah tengah hutan Jati yang jauh dari akses keramaian, hingga kini tinggal komunitas atau Suku yang biasa dikenal dengan "Wong Sikep" atau Suku Samin, yang hidupnya masih berpegang teguh pada nilai-nilai budaya "ketimuran". Mereka seolah hidup terisolir dari dunia ramai, cara hidupnya berkelompok dan memiliki tingkat kekerabatan cukup tinggi. Yang menarik, Suku Samin memiliki nilai-nilai dan cara hidup sendiri.
Secara Demografi, mereka tinggal di tiga tempat berbeda, mungkin untuk mengaburkan keberadaannya dari tangan-tangan kolonialis Belanda kala itu. Yaitu di Desa Klopo Duwur Kabupaten Blora, lalu di Dusun Njepang Desa Sugih Waras Kabupaten Bojonegoro, dan di Dukuh Bombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Di tengah kebingungan bangsa Indonesia yang semakin melupakan identitas kebangsaannya, mungkin wong sikep atau Samin bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk menggali khasanah pemikiran dan kebudayaan lokal asli Indonesia.
Seorang Kepala Dusun di Klopoduwur, Blora, punya trik tersendiri untuk menarik pajak bumi dan Bangunan (PBB) pada komunitas samin di daerahnya. Ketika menagih pajak, kepala dusun tersebut sama sekali tidak menyebutkan soal pajak. Ia bilang,"sedulur, aku ikut menggunakan uangmu ya," orang samin itu tentu akan memberinya uang yang nilainya sama dengan PBB yang harus dibayar. Begitulah orang Samin, mereka memiliki cara pandang yang terbalik dengan masyarakat pada umumnya, mereka memiliki nilai-nilai sendiri yang dianut dan dipegang teguh hingga kini. Kalau ditanya berapa anaknya, pasti mereka akan menjawab," Kaleh(dua,-red), lelaki dan perempuan,".
Jawaban standar tersebut dimaksudkan untuk menyembunyikan substansi pokok persoalan. Masyarakat umum seringkali menyebut sikap Nyeleneh mereka dengan istilah Nyamin.
Hinga kini, Budaya atau Tradisi Masyarakat samin tersebut masih tetap tegar, meski akulturasi budaya mulai merongrong dengan berkembangnya generasi baru mereka yang 'agak' lebih terbuka. Dulu, dan juga kini, komunitas samin yang bertebar di Kabupaten Blora, Pati, dan Bojonegoro lebih suka menjauh dari dunia luar, khususnya dari lembaga kuasa yang menggerayangi kehidupan desa.
Merekalah sebenarnya kelompok pertama penentang kolonialis belanda dengan perlawanan 'halus' membelot pajak. Sebab, saat itu kolonialis Belanda menghujani masyarakat petani dengan berbagai macam pajak, dari pajak tanah, sampai pajak pohon kelapa hinga pajak palawija.
Saminisme boleh dikata anti kemapanan, mereka tidak bisa diperintah dan disuruh-suruh layaknya warga negara yang taat dan patuh. Sikap mereka tersebut bukan dalam artian anarkhisme Eropa Abad IX gaya Michail Bakunin yang menekankan Antithesis terhadap wewenang dan lembaga negara, melainkan sedikit mirip anarkhismenya Bakunin, Proudhon.
Kalau Karl Max berpostulat bahwa hak milik itu adalah sendi dasar kapitalisme, maka Proudhon berpendapat hak milik itu adalah "hasil curian" negara terhadap warga.
Saminisme pun beranggapan serupa. Meski tak punya filsuf atau pendekar, tapi pendirian mereka jelas. Mereka melawan pajak, mereka menganggap harta milik mereka adalah sepenuhnya milik mereka, tak boleh diusik orang atau lembaga di luar mereka. Nah "proudhonisme"nya para saminis inilah yang membuat mereka tegar, gigih tapi damai hinga sekarang yang memungkinkan mereka konsisten dalam perlawanan.
Dalam sebuah catatan disebutkan, ketika berceramah di pinggir hutan jati Desa Bapangan, Blora pada Februari 1889 silam, Ki Samin Sursentiko, tokoh dan pendiri Samin, menyerukan bahwa seluruh warga dibenarkan menebang pohon jati di hutan negara, sebab hutan tersebut tumbuh di tanah leluhur mereka. Gara-gara seruan tersebut, oleh Belanda Ki Samin Surosentiko dan delapan orang pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga meninggal.
Kaum Samin tetap bersikap masa bodoh atas sejumlah aturan pemerinah kala itu. Mereka menolak pungutan pajak dan tetap menebang kayu jati, meski secara sembunyi-sembunyi.
Perilaku Samin malah sempat merepotkan Bataafsche Petroleum Maatschappij, penguasa 227 sumur minyak di Bojonegoro dan Cepu pada kisaran 1920-an. Waktu itu, warga Samin tanpa permisi mengambil tumpahan minyak di sumur Bataafsche, meski cuma untuk konsumsi dapur. Tentu saja ulah mereka dianggap menggangu. Namun demikian, perusahaan minyak Belanda tersebut tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan mereka terpaksa memberikan kompensasi kepada masyarakat setempat sebesar 240 gulden per tahun.
Toh, warga tetap saja mengambil ceceran minyak mentah itu. Begitulah cara Saminisme melawan penjarahan kekayaan tanah leluhurnya. kaum samin tak ambil pusing dengan aturan pemerintah.
Persaudaraan, kesetiakawanan dan kemandirian para Saminis tersebut cukup kuat. 'keduwenanku yo keduwenanmu, begitulah sikap sosialis Samin, Mereka tak mau dibantu, disumbang dana pun tidak mau. Tapi kalau anda di tengah mereka, Anda Harus berjabat tangan dengan semuanya satu- per satu termasuk kepada anak-anak balita keluarga-keluarga Samin. Ini menarik, sebab di Jawa pada umumnya anak kecil diremehkan dan tidak diperkenalkan kepada tamu.
Para Saminis tersebut insyaf sekali akan sosialitas. Kaum Saminis ini malah "lebih Dewasa" dan amat sadar tentang arti individualitas, Sosialitas dan kemanusiaan. mereka tidak suka menuding dan menuduh. mereka tak pernah mengklaim menyisihkan orang lain. Tentu kita perlu mengambil pelajaran dari Suku Samin, nilai kearifan lokal yang menjanjikan dan cukup relevan untuk menggali tradisi atau watak 'Ketimuran' Nusantara yang makin lama makin kehilangan identitasnya.
Sumber
Label:Sejarah
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua,
BalasHapusSengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan
Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 750juta saya sters hamper bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu dengan kyai ronggo, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI RONGGO KUSUMO kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 3Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 3M yang saya minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada. Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi kyai ronggo kusumo di 082349356043 situsnya www.ronggo-kusumo.blogspot.com agar di berikan arahan. Toh tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin seperti saya coba hubungi kyai ronggo kusumo pasti akan di bantu