Minggu, 27 September 2015

Ajian Buto Ijo

Perlahan-lahan jasad Ningrum yang di bungkus kain putih diturunkan ke liang lahat. Para pelayat memandang dengan tatapan pilu. Tapi tidak demikian dengan Mbah Santo, laki-laki tua yang sering bertingkah aneh itu cuma geleng-geleng kepala sambil berguman dengan nada tidak jelas.

"Gawat. . . gawat!" geragap Mbah Santo berulang-ulang sambil mencermati bungkusan kain putih yang mulai dilepas dari ikatanya.

Apa yang terjadi? Rupanya, dimata Mbah Santo, yang ada di dalam bungkusan kain putih itu bukanlah jasad Ningrum, melainkan hanyalah sebatang pohon pisang atau gedebog.

Ningrum yang kembang desa itu, meninggal setelah menderita sakit beberapa minggu. Tidak ada yang tahu apa penyakit yang dideritanya. Menurut kabar burung yang beredar, dia meninggal karena mengidap penyakit AIDS, karena sudah bukan rahasia lagi kalau gadis cantik bertubuh sinal itu bekerja dikota sebagai wanita penghibur atau kupu-kupu malam.

"Kasihan Ningrum, dia masih muda tapi harus mati dengan cara yang mengenaskan," cetus salah seorang pelayat setelah lubang kubur tempat peristirahatan terakhir Ningrum ditutupi dengan tanah.

Setelah upacara pemakaman Ningrum selesai, satu persatu para pelayat mulai meninggalkan kuburan. Tapi tidak dengan Mbah Santo. Laki-laki tua itu masih berada di tempatnya sambil menatap gundukan tanah merah yang berhiaskan batu nisan dan taburan bunga tujuh rupa.

"Gawat, kampung ini akan banjir darah!" guman Mbah Santo. Kemudian setelah diam sejenak, laki-laki tua itu mengambil segenggam tanah merah dari pusara Ningrum dan pulang dengan wajah diliputi kegelisahan.

Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan dan akan dilakukan oleh Mbah Santo. Tapi yang jelas, setelah setelah pemakaman Ningrum, malam harinya awan tebal menyelimuti langit disertai kilatan halilintar. Tapi anehnya, meski langit berselimut mendung di angkasa, namun hujan tidak turun-turun. Tentu saja keanehan alam ini membuat orang bertanya-tanya.

"Aneh, meski mendung tebal dan sejak tadi petir terus menerus menyambar, tapi hujan masih belum turun-turun juga," cetus Roy yang malm itu ngobrol dengan teman-temanya di pos kampling.

"Benar, malam ini memang kelihatan aneh tidak seperti malam-malam biasanya." Sambung Takim.

"Jangan-jangan ini ada hubunganya dengan kematian Ningrum!" sahut Kacung tiba-tiba dengan suara agak keras sehingga membuat yang lainnya jadi tersentak.

"Cung, kamu kalau bicara jangan ngawur!" celetuk Takim, mengingatkan.

"Aku tidak ngawur. Aku hanya takut apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi kenyataan."

"Memangya apa yang dikatakan orang tua itu?

"Aku sempat mendengar, dia bilang kampong kita akan banjir darah," jelas kacung dengan suara bergetar.

Mendengar jawaban Kacung, semua langsung terdiam. Mereka saling berpandangan. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menghinggapi hati mereka. Meski mereka tahu otak Mbah Santo kurang waras, namun anehnya justru itulah yang membuat sebagian antara mereka merasa yakin apa yang dikatakan Mbah Santo akan jadi kenyataan.

Karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mereka, seperti dikomando para pemuda itu segera pulang ke rumah masing-masing. Mereka benar - benar takut apa yang dikatakan Mbah Santo jadi kenyataan. Padahal mereka belum tahu apa yang dimaksud banjir

darah oleh Mbah Santo. Tapi dihati mereka sudah berselit bahwa banjir darah adalah kematian. Dan mala mini seakan mereka sudah mencium bau kematian.

Malam beranjak semakin gelap. Langit hitam pekat seperti lautan jelaga. Di angkasa petir bagaikan lidah naga yang menyambar-nyambar dengan ganas deisertai hembusan angin kencang.

Sementara orang-orang sudah tertidur lelap di ranjang masing-masing, disebuah gubug reyot yang terletak agak jauh dari rumah penduduk, Mbah Santo sedang duduk bersemedi di dalam kamarnya. Wajah lelaki tua Nampak tenang, dia sedang berusaha memusatkan segenap panca indranya pada satu titik di mana dia akan mendapat kejelasan atas sesuatu yang telah membuat hatinya gelisah.

Keesokan harinya, ketika fajar mulai merebak di ufuk timur, Mbah Santo pergi kerumah Takim. Tentu saja pemuda yang semalam sempat dicekam rasa takut itu jadi terkejut melihat kedatangan Mbah Santo.

"Ada apa Mbah?" Tanya Takim sambil mengusap-usap matanya karena semalam kurang tidur.

"Kim, apa kamu pernah melihat Ningrum telanjang?" ujur Mbah Santo balik bertanya pada Takim?

Takim jadi terkejut mendengar partanyaan Mbah Santo yang tidak terduga itu. Ternyata orang tua itu tidak hanya otaknya saja yang kurang waras tetapi juga kurang ajar, pikir Takim.

"Mbah Santo kalau bicara yang baik dan jangan begitu," ujur Takim.

"Aku ini serius, Kim. Kalau kamu pernah melihat Ningrum telanjang, tentunya kamu pernah lihat noda kehitaman sebesar uang logam lima puluhandi bawah pusar atau belahan buah dada Ningrum. Kalau kamu pernah lihat tanda seperti itu, tolong beri tahu aku. Karena itu merupakan tanda Ajian Buto Ijo."

Setelah menjelaskan panjang lebar apa itu Ajian Buto Ijo, kemudian dengan tergesa-gesa Mbah Santo pulang. Dan Takim hanya berbengong-bengong memandang keergian Mbah Santo. Baru kali ini dia melihat orang tua itu kelihatan waras meski apa yang dikatakanya tidak masuk akal.

Sepeninggal Mbah Santo, Takim jadi gelisah. Dia memang tidak pernah melihat Ningrum dalam keadaan telanjang bulat, tapi dia pernah melihat gadis itu mengenakan baju tipis yang tembus pandang. Dan dibalik gaun itu dia sempat melihat noda kehitaman sebesar uang logam lima puluhan dibelahan buah dada Ningrum. Apakah noda kehitaman di belahan dadanya yang menghitam sebesar telapak orang dewasa.

Takim benar-benar gelisah mendengar percakapan ibu dan tetangganya itu. Kalau yang dikatakan tetangganya itu benar, berarti apa yang dikatakan Mbah Santo juga benar.

"Ajian Buto Ijo itu biasanya digunakan oleh perempuan nakal. Ajain ini digunakan orang supaya kuat berhubungan di tempat tidur sekaligus sebagai pemikat dan mencari pasugihan. Orang yang mempunyai Ajian Buto Ijo biasanya tidak berumur panjang, karena itu memang sudah perjanjianya. Dan bila orang itu sudah mati, maka rajah hitam di bawah pusar atau belahan buah dadanya akan mengembang ke seluruh tubuhnya, kemudian orang tua itu akan bangkit dari kuburanya menjadi Buto Ijo yang siap menyebar petaka," begitu tutur Mbah Santo yang masih diinat jelas oleh Takim.

Karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dikampungnya, malam itu juga Takmim ke rumah Mbah Santo. Beberapa teman mengajak ngobrol di pos kampling ditolak. Bahkan ketika dia ditertawakan karena memberi tahu maksud kedatanganya kerumah Mbah Santo, Takim juga tidak peduli.

Sampai dirumah Mbah Santo, Takim langsung menceritakan apa yang dilihat dan yang didenggarnya engenai noda hitam di bawah pusar dan belahan buah dada Ningrum. Mendengar cerita Takim wajah Mbah Santo langusng tegang seperti disengat arus listrik tagangan tinggi.

"Gawat, kalai terlambat kampung ini bisa banjir darah!" kata Mbah Santo lalu segera mengambil tanah kuburan yang dulu diambil dari pusara Ningrum. " Kim, kita harus cepat pergi sebelum ada korban," ajaknya sambil menyeret tangan Takim.

Baru saja Mbah Santo dan Takim keluar rumah, mereka mendengar suara teriakan dari arah utara kampung. Dan beberapa saat kemudian mereka melihat orang-orang berlarian seperti di kejar hantu.

"Ada apa ini? Tanya Mbah Santo pada seseorang yang hampir saja menabraknya.

"Anu, Mbah . . . ada makhluk aneh seperti orang gila sedang mengamuk. Beberapa orang yang tertangkap langsung dicekik!" jawab orang itu dengan wajah pucat dan suara terbata-bata karena dicekam rasa takut.

"Celaka dia sudah jadi Buto Ijo!" seru Mbah Santo setengah mengeluh.

Benar apa yng dikatakan Mbah Santo. Ditengah kampung Nampak makhluk hitam tinggi besar dengan muka kehijauan sedang mengobark-abrik rumah penduduk. Melihat kehadiran Mbah Santo dan Takim, makhluk tinggi besar yang oleh Mbah Santo disebut Buto Ijo itu langsung menyerang.

"Awas mundur, Kim!" teriak Mbah Santo mengingatkan. Kemudiam Mbah Santo dengan cepat menyiramkan tanah kubur yang dibawanya kea rah makhluk itu. Makhluk tinggi besar itu menjerit kesakitan dan tubuhnya mengeluarkan asap seperti terbakar.

"Ayo kembali ke asalmu!" seru Mbah Santo sambil terus menyiram makhluk itu dengan tanah kuburan.

Makhluk itu jatuh bergulingan di tanah dan akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tubunhya yang hitam bersisik perlahan-lahan mengelupas dan kemudian berubah menjadi sosok gadis cantik dengan wajah dan kulit yang sudah memucat.

"Ningrum!" seru beberapa orang yang menyaksikan keanehan itu, hampir bersamaan.

"Sebaiknya jasad Ningrum segera kita rawat dan besok kita makamkan kembali!" kata Mbah Santo.

Keesokan harinya ketika kuburan Ningrum dibongkar dan jasad Ningrum dibongkar dan jasad Ningrum di makamkan kembali, orang-orang terkejut karena di dalam kuburan Ningrum hanya ada sebatang pohon pisang yang dibungkus kain kafan. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau yang dimakamkan dulu itu bukanlah jasad Ningrum melainkan hanyalah sebatang gedebog.

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.