Senin, 03 Agustus 2015

Adilkah Untukku

Malam masih teramat sangat larut, setiap sudut terlihat sepi tak terlihat ada kegiatan, hal tersebut membuat suasana tempat itu terasa tenang dan damai. Tak ada suara yang terdengar bising atau lainnya, yang terdengar hanya suara binatang malam yang saling bersahutan, menambah damai malam itu.

Tak ada orang di luar rumah, kecuali beberapa insan adam yang masih setia berada di pos ronda, yang tak lain untuk bertugas menjaga daerah terpencil itu.

Desa PringSewu, itu adalah nama daerah tersebut. Sebuah daerah yang jauh dari kebisingan kota, daerah yang jauh dari kemodernisasian dan kepahitan kenyataan kehidupan, dan daerah yang masih terjaga adat istiadatnya, sehingga desa tersebut terlihat tentram dan tak pernah ada keributan. Bergantung pada keadaan alam sekitar dan tetap menjaganya, membuat setiap benda yang terlihat di alam sekitar desa itu masih terlihat kemurniannya.

Bukan mereka tak pernah percaya pada setiap bantuan pemerintah yang selalu ingin merubah keadaan daerah tersebut, namun mereka hanya tak ingin adat istiadat yang ada di tempat itu luntur karena beberapa bantuan baik berupa fisik maupun nonfisik pasti akan membuat perubahan adat istiadat daerah itu meski tak secara langsung. Jadi, bagi mereka apapun yang ada di alam selama itu masih bisa dimanfaatkan ataupun diolah, mereka tetap akan mengolahnya dan memanfaatkannya dengan baik tanpa mengubah tatanan yang sudah ada.

Kepercayaan pada hukum Islam sangat kuat di daerah setempat, jadi tak salah jika ada sebuah tempat khusus untuk tempat pendalaman agama Islam, bisa dibilang itu adalah sebuah tempat menimba ilmu Islam bagi para pemula agama maupun bagi mereka yang sudah lama mempelajari seluk beluk Islam. Tak ada perbedaan di dalam tempat tersebut, baik untuk pemula maupun untuk mereka yang telah lama belajar disitu. Tempat tersebut lebih terkenal dengan nama Pondok Pesantren Al-Wajid, yang berarti "Menemukan". Karena, diharapkan untuk siapapun yang menimba ilmu di tempat itu dapat menemukan jati diri mereka dan menemukan kebesaran Sang Pencipta yang telah menciptakan jagat raya seluas ini dengan berbagai macam perbedaan yang menghiasi kehidupan yang telah tercipta.

Malam itu ketika semua nafas sedang larut dalam tatanan rapi di dalam mimpi, tiba-tiba sebuah kegaduhan datang dari tepi batas desa. Seorang laki-laki berusia lanjut berteriak keras, yang membuat beberapa pasang mata terpaksa membuka mata karena sumber suara yang semakin mengeras. "Ada mayat! Ada mayat! Tolong!!!", teriak pak Muchtar, salah satu tokoh masyarakat yang ternama di desa setempat.

Beberapa warga yang sudah terbangun berlari menuju arah suara pak Muchtar dan terkejut karena seorang pemuda berpenampilan sedikit bringas tergeletak di tepi sungai kecil yang berada di batas desa. Wajahnya yang terlihat pucat memang terlihat seperti mayat sehingga pak Muchtar tadi meneriakkan ia seperti mayat. Terlihat beberapa goresan luka di bagian tubuh pemuda tersebut. Rahmat, salah satu pemuda di desa tersebut yang sudah menuntut ilmu kedokteran beberapa bulan silam mencoba mendekati pemuda yang tergeletak tersebut dan memeriksa denyut nadinya. "Orang ini masih bernafas, mungkin ia hanya pingsan. Mari bawa dia ke pondok milik pak Hambali." ucap Rahmat kepada warga, dan ahirnya warga membawa pemuda tersebut ke pondok pak Hambali, yang tak lain adalah pemilik pondok pesantren Al-Wajid.

Tak selang beberapa lama, ahirnya pemuda yang tadi tergeletak di tepi desa, kini sudah berada dalam sebuah kamar santri putra milik pak Hambali. Beberapa santri berusaha membuat pemuda tersebut sadar, agar mereka bisa mengetahui siapa pemuda tersebut dan darimana asal pemuda itu sebenarnya.

Beberapa menit telah berlalu, perlahan pemuda yang belum sadarkan diri sedari tadi, mulai menggerakkan jari jemarinya perlahan, mulai membuka kedua matanya meski terkadang terpejam lagi. Pak Hambali yang mengetahui bahwa pemuda tersebut mulai sadar, beliau segera duduk di dekat pemuda itu. Pemuda itu sekarang sudah benar-benar sadar, dan betapa terkejutnya dia karena ia sudah berada di tempat yang berbeda saat ini. Dan begitu juga orang-orang yang mengelilinginya terlihat asing untuk dirinya.

"Si… Siapa kalian? Dimana aku? Kenapa aku ada disini? Dimana minuman ku tadi? Uangku? Dimanaa!!!" Pemuda itu terlihat mulai panik.

"Tenang, nak. Kami tak akan menyakitimu. Kamu sedang berada di desa kami, PringSewu. Tadi kami menemukanmu tergeletak penuh luka di pinggir desa, jadi kami membawa mu kemari. Kami tak berniat jahat kepadamu, nak." Jawab pak Hambali tenang.

Pemuda itu kemudian terdiam, tatapannya kosong, entah apa yang sedang ia pikirkan. Semua orang yang berada di ruangan tersebut hanya bisa memadang pemuda itu dengan tatapan penuh pertanyaan, siapa sebenarnya dia. Pak Hambali yang berusaha menenangkan suasana, kembali menanyai pemuda tersebut dengan penuh kesabaran.

"Siapa sebenarnya nama kamu, nak? Dari mana kamu berasal? Dan mengapa kamu bisa sampai ke desa terpencil seperti ini? "Tanya pak Hambali.

Pemuda itu mulai menatap mata sayu pak Hambali, terasa ada sedikit kedamaian yang ia rasakan, entah apa itu. Perlahan pemuda itu mulai menjelaskan siapa dirinya dan bagaimana ia bisa ada di tempat tersebut.

Nama pemuda itu adalah Putra. Ia adalah anak seorang pejabat di kota besar sana. Orangtuanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, membuat Putra tak mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Hal tersebut yang membuat Putra sering keluar rumah dan bergaul dengan teman teman yang salah dan hingga ahirnya ia masuk dalam dunia perjudian. Dan, malam itu saat dimana Putra mendapat kesialannya. Ia tak memenangkan permainan tersebut, harta miliknya yang sudah habis karena kekalahan sebelumnya membuat ia terpaksa lari dan berusaha menghindar dari beberapa orang yang mengejarnya. Namun, apa daya Putra, tenaganya habis ketika sekelompok orang sudah berhasil menangkap Putra. Di saat itulah Putra dihajar habis-habisan oleh orang-orang tersebut, dan membuat beberapa luka di bagian tubuh Putra. Setelah puas memberi peringatan kepada Putra, mereka membuang Putra ke suatu tempat yang tak lain adalah desa PringSewu. Itulah beberapa hal yang Putra ingat sebelum ahirnya ia terjatuh pingsan.

Semua orang yang berada di ruangan itu kini yang terdiam, karena tak mereka duga bahwa yang saat ini ada di hadapan mereka adalah seorang penjudi. Seseorang yang bagi mereka sangat asing keberadaanya. Karena sebelumnya belum pernah ada orang dari kota yang datang dengan keadaan seperti ini. Lagipula jika ada beberapa orang kota datang, mereka berpenampilan lebih sopan dan dengan niat yang baik, yaitu menimba ilmu di pondok pesantren milik pak Hambali.

Pak Hambali yang sudah paham dengan tatapan tidak suka para santrinya terhadap Putra, ahirnya mulai mendinginkan suasana.

"Berhubung waktu yang sudah larut, semua santri boleh meninggalkan ruangan ini untuk kemudian melanjutkan istirahat. Biar nanti Putra, saya yang mengurusi." Ucap pak Hambali tenang.

"Tapi pak kyai, dia adalah seorang…" belum sempat Galih, seorang santri pondok pesantren melanjutkan pertanyaannya, pak Hambali sudah memberinya isyarat agar Galih menghentikan ucapannya.

Ahirnya, semua santri kembali ke kamar masing-masing, dan beberapa warga yang tadi mengantar Putra ke tempat pak Hambali, juga beranjak meninggalkan ruangan tersebut dan membiarkan pak Hambali kini berdua dengan Putra.

"Mungkin kamu lelah. Tidurlah dan istirahatkan badanmu agar kembali pulih. Semoga semua lukamu segera sembuh. Anggap saja tempat yang sedikit sempit ini seperti tempat tinggalmu sendiri." Ucap pak Hambali seraya pergi meninggalkan Putra sendiri di ruangan itu.

Putra hanya diam tanpa sedikit kata pun terlontar dari mulutnya saat melihat bayangan pak Hambali yang mulai menghilang dari tatapannya. Ia pun perlahan menarik selimut yang berada di sampingnya untuk menutup badannya yang terasa sangat lelah untuknya. Direbahkan tubuhnya di sebuah tempat tidur klasik yang menjadi tempat istirahat para santri di pondok tersebut. Perlahan ia menutup kedua matanya dan berharap ini hanya bagian dari mimpi panjangnya.

Kokok suara ayam jantan saling bersahutan, kumandang adzan terdengar merdu dari masjid pondok pesantren Al-Wajid. Terlihat setiap penduduk mulai beranjak bangun dari mimpi mereka untuk kemudian mengambil air wudhu dan kemudian shalat berjamaah di masjid pondok pesantren tersebut. Begitulah awal kegiatan setiap warga penduduk desa Pringsewu. Selalu beribadah sebelum memulai kegiatan mereka adalah salah satu keyakinan bahwa Allah akan memudahkan setiap urusan mereka jika mereka juga mau beribadah dengan taat.

Hanya dalam hitungan menit setelah suara adzan selesai, terlihat ruangan masjid yang terlihat sederhana itu kini sudah terpenuhi oleh penduduk desa setempat untuk melakukan shalat subuh berjamaah. Wajah mereka nampak berseri ketika mereka sudah memulai rakaat pertama hingga berjalan ke rakaat ke dua. Kekhusyukan mereka menambah khitmad shalat subuh saat itu, ditambah lagi ke fasyihan setiap doa yang dibacakan oleh pak Hambali, menambah suasana semakin terasa nyaman.

Setelah beberapa waktu berganti, ketika shalat telah usai, beberapa penduduk mulai meninggalkan masjid dan segera memulai aktifitas mereka, seperti berkebun, berjual beli, dan lain sebagainya. Ada pula beberapa santri yang masih berdiam di masjid dan membaca al-Quran secara bergantian. Beberapa santri juga terlihat sudah memulai aktifitas mereka seperti membersihkan lingkungan pondok pesantren, membenahi beberapa fasilitas yang terlihat rusak, dan lain sebagainya.

Pak Hambali terlihat sedang merapikan sajadahnya, tiba-tiba dua orang santri mendekatinya.

"Assalamualaikum pak kyai, maaf boleh saya berbicara kepada pak kyai?" tanya Galih dengan sopan.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, silahkan. Ada ada, Lih?" jawab pak Hambali sembari meletakkan sajadah di dekat tempatnya sholat tadi.

"Maaf pak kyai, apa tidak salah membirakan Putra tetap tinggal disini? Saya khawatir pak kyai. Bukan kah lebih baik kita mengembalikan dia ke kota tempat ia tinggal?" tanya Galih.

"Benar pak kyai. Apa pak kyai tidak takut jika Putra nantinya akan membawa pengaruh buruk bagi lingkungan ini?" sambung Bagus, teman sebaya Galih.

"Mari duduk di serambi masjid terlebih dahulu. Tidak baik membicarakan hal seperti ini di dalam masjid." Jawab pak Hambali seraya menuntun Galih dan Bagus menuju serambi masjid.

Setelah duduk dan suasana mulai tenang, pak Hambali mencoba untuk memberikan penjelasan kepada dua orang santrinya tersebut.

"Begini Galih, Bagus, tidak ada larangan untuk siapa pun menginjakkan kaki di pondok pesantren Al-Wajid ini, bahkan untuk bertempat tinggal sekali pun. Tidak peduli siapa dia, bagaimana keadaannya, dan dari mana asalnya. Tidak ada perbedaan yang ada di antara kita semua. Allah saja sebagai pencipta tidak pernah membedakan umat-Nya, apa lagi kita yang hanya makhuk ciptaan-nya, sudah seharusnya kita juga bisa menerima perbedaan. Putra hanya seorang pemuda yang belum mengerti arah tujuan hidupnya dan bagaimana ia harus memanfaatkan masa hidupnya. Tak ada orang yang memperdulikannya membuat ia lupa akan tugas utamanya diciptakan oleh Allah SWT. Ia hanya perlu waktu untuk menyadarkan hati nuraninya bahwa betapa ia sudah menyia-nyiakan kehidupannya. Dan tugas kita saat ini sebagai lingkungan barunya adalah membantu dia menemukan jati dirinya. Membantunya untuk mengingat siapa penciptanya dan apa tugas utamanya dicipakan di dunia ini. Itu tugas kita saat ini. Bukan merendahkan dia dan membuatnya seolah-olah hanya bagian kotor dari kehidupan, karena pak kyai yakin di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, bahkan nabi sekali pun. Kalian ingat bukan tentang perintah untuk mengingatkan sesama? Maka dari itu sudah sewajarnya kita saat ini menerima Putra dalam kehidupan kita. Semoga kalian mengerti maksud pak kyai." Pak Hambali menutup penjelasannya.

"Iya pak kyai saya paham. Maafkan saya telah berburuk sangka, dan insyaAllah saya akan menerima keberadaan Putra dan membantu membimbingnya agar kembali ke jalan yang benar pak kyai. "jawab Galih.

Setelah semua terasa sudah selesai, pak Hambali kemudian meninggalkan Galih dan Bagus yang masih duduk di serambi masjid, kemudian beliau menuju kamar Putra, karena beliau tidak melihat Putra saat shalat subuh tadi.

Benar saja, sesampainya pak Hambali di kamar Putra, terlihat Putra masih tertidur pulas di tempat tidurnya. Pak Hambali kemudian mendekati Putra dan mulai membangunkannya perlahan.

"Putra, surya sudah mulai meninggi, bangun lah dan ambil air wudhu lalu dirikanlah shalat subuh." Suara pak Hambali terdengar pelan di dekat telinga Putra.

Putra yang mendengar bisikan pak Hambali kemudian mulai terbangun dan menyandarkan tubuhnya. Dilihatnya wajah pak Hambali yang memberinya sebuah senyum ketulusan yang selama ini tak pernah ia lihat sesaat setelah terbangun dari tidur ketika ia berada di rumahnya. Putra mulai memberanikan diri untuk berbicara, meski sebenarnya ia masih malu atas kejadian yang ia alami tadi malam.

"Maaf, apa itu shalat? Apa itu semacam ritual? Air wudhu? Apa lagi itu? apa itu sebuah air keramat?" jawab Putra polos karena ketidaktauannya tentang agama.

Pak Hambali hanya tersenyum dan berkata "Sudah ikutlah saja. Bawa sajadah, peci, dan sarung yang ada di atas meja tersebut dan segeralah ke masjid di sebelah pondok ini."

Pak Hambali meninggalkan Putra yang masih terdiam dengan beberapa pertanyaan yang masih ingin ia tanyakan sebenarnya kepada pak Hambali. Putra pun menuruti perkataan pak Hambali, dan mengambil apa yang pak Hambali perintahkan tadi lalu ia pun berjalan menuju masjid yang pak Hambali maksutkan tadi.

Sesampainya ia di masjid, ia melihat pak Hambali sudah berada di tempat wudhu yang berada di sebelah kanan masjid. Putra berjalan menuju ke arah pak Hambali dan kemudian kembali melontarkan pertanyaannya.

"Apa yang akan dilakukan sekarang? Aku tak pernah melakukan hal-hal seperti ini sebelumnya." Tanya Putra.

"Segeralah berwudhu." Jawab pak Hambali singkat.

"Berwudhu? Bagaimana caranya? Orangtuaku tak pernah mengajariku berwudhu."

"Berapa umurmu sekarang?"

"20 tahun."

"Selama itu apakah orangtua mu belum pernah mengajarimu berwudhu?"

"Belum pernah dan tidak pernah. Mereka hanya sibuk dengan kegiatan meraka tanpa mereka perhatikan aku."

"Berwudhu bertujuan untuk membersihkan kita dari hadas-hadas kecil sebelum kita mendirikan shalat."

"Shalat? Apa lagi itu shalat?"

"Kamu juga belum mengenal shalat? Apakah kamu tau siapa yang menciptakan mu di dunia ini?"

"Sudah aku katakan tadi, orangtua ku tidak pernah mengajariku apapun. Yang menciptakan aku? Yang aku tau, aku terlahir dari sebuah rahim ibu. Ya hanya itu."

Pak Hambali hanya tersenyum dan menghela nafas mendengar kata-kata Putra seraya melihat wajah Putra yang terlihat memang tak mengerti apapun tentang agama. "Ya Robb, beri kan ia waktu untuk merubah dirinya. Beri petunjuk-Mu agar ia mengerti arti kebesaran-Mu. Jadikanlah ia sebagian dari orang-orang yang beriman ya Allah. Bimbinglah ia agar ia segera menemukan jati dirinya dan segera memahami untuk apa ia ada di dunia ini. Semoga Engkau mempermudah setiap jalannya, ya Robb" ucap pak Hambali dalam hati kecilnya.

Dengan perlahan dan sabar, beliau ajarkan bagaimana cara berwudhu mulai dari berkumur hingga membasuh kedua kaki. Putra terlihat memahami setiap perkataan yang keluar dari pak Hambali. Perlahan Putra pun mencoba berwudhu sendiri meski berulang kali ia salah, namun ia tak pernah berhenti mencoba. Hingga akhirnya setelah diulang beberapa kali, Putra pun sudah mulai lancar berwudhu. Dan kini pak Hambali membawanya ke dalam masjid.

Di dalam masjid, Putra hanya terdiam melihat beberapa santri sedang membaca al-Quran, dan beberapa juga sedang membaca kitab-kitab pendalaman agama yang tersedia di dalam masjid. Bagi Putra, itu adalah pamandangan asing yang tak pernah ia jumpai selama ini. Bahkan Putra juga sebenarnya tak begitu tau dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Ia hanya bisa melihat dan mendengarkan apa yang mereka suarakan tanpa ia tau apa makna semuanya.

Tiba-tiba pak Hambali memanggil Rahmat yang terlihat sedang mengajari beberapa anak kecil mengaji di dekat jendela utama masjid. Rahmat adalah salah satu santri kepercayaan pak Hambali sehingga tak jarang jika Rahmat menjadi tangan kanan pak Hambali di pondok tersebut. Rahmat adalah anak dari kepala desa PringSewu yang sudah menyelesaikan kuliah S1 di bidang kedokteran di salah satu universitas di kota besar. Namun, untuk saat ini Rahmat sengaja belum melanjutkan kuliahnya lagi karena ia ingin kembali menimba ilmu agama di pondok pesantren pak Hambali, yang selama ini mengajarinya banyak hal hingga ia menjadi salah satu pemuda cerdas yang tak pernah lalai dalam beribadah kepada Allah SWT.

Setelah pak Hambali membisikkan sesuatu kepada Rahmat, beliau lalu meninggalkan Putra kini bersama Rahmat. Putra hanya bisa membalas senyum Rahmat sesaat setelah pak Hambali pergi meninggalkan mereka berdua. Rahmat diberi amanat untuk mengajari shalat dan amalan-amalan lain yang dianjurkan oleh Allah, kepada Putra. Dan pak Hambali berpesan agar Putra tidak menemui beliau dahulu sebelum ia mengerti apa tujuan semua itu.

"Kemana pak Hambali?" tanya Putra polos.

"Menyelesaikan urusannya. Dan akan kembali jika sudah selesai. Sudah bisa shalat?" ucap Rahmat dengan senyum tulusnya.

Putra hanya menggelengkan kepalanya seraya menunduk karena ia merasa merasa malu, bukan karena Rahmat yang ada di depannya lebih bisa tentang agama, namun ia malu pada dirinya sendiri karena setiap pertanyaan yang dilontarkan pasti belum dimengerti oleh Putra.

Rahmat yang saat itu sudah mengerti apa yang harus ia lakukan, segera mengambil sebuah buku di lemari tempat beberapa kumpulan buku yang ada di mushola tersebut dan memberikannya pada Putra. Dibacanya dengan perlahan judul buku tersebut "TUNTUNAN SHALAT WAJIB DAN SUNAH". Putra yang mengerti maksud Rahmat segera membuka buku tersebut dan membacanya, dan beberapa kali menanyakan semua yang ia tak mengerti kepada Rahmat. Dan perlahan Rahmat mengajari beberapa gerakan shalat yang benar, dan Putra memperhatikannya dengan penuh keseriusan.

Setelah selang beberapa lama Rahmat mengajari Putra, mereka pun saling tukar menukar cerita, dan betapa terkejutnya Putra karena ternyata di desa sekecil ini yang jauh dari kemodernisasian, Rahmat bisa menyelesaikan S1nya di kota besar. Belum lagi semua pengetahuan Rahmat membuat Putra berdecak kagum dalam hatinya. Putra benar-benar merasa bahwa dirinya tak lebih dari seseorang yang hina, yang hanya beruntung terdampar di sebuah desa yang masih mau menerimanya,

"Rahmat, boleh aku bertanya? Siapa yang memberimu pengetahuan sebanyak itu? Pak Hambali? Dosenmu? Atau orang-orang jenius lain?" tanya Putra penasaran.

"Allah." Jawab Rahmat singkat.

"Allah? Siapa dia? Dari mana asalnya? Bisakah aku menemuinya?"

"Allah ada dimana-mana, dan kamu bisa menemuinya di hati kecilmu."

"Benarkah? Siapa sebenarnya Allah? Laki-laki atau perempuan?"

"Allah adalah dzat yang tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan oleh hati manusia yang tulus. Allah bukan laki-laki atau perempuan. Dia adalah dzat yang memberi segalanya. Memberi kehidupan, memberi rejeki, memberi pengetahuan, memberi jodoh, dan memberi lain-lainnya. Allah juga maha penguasa, Dia menguasai segala yang ada di bumi dan jagat raya ini. Dia yang berhak menentukan segalanya yang akan terjadi."

"Kalau begitu, aku diciptakan oleh Allah? Semua kekayaan ayah ku itu dari Allah?"

"Iya. Kamu diciptakan oleh Allah, lalu perantaranya adalah ibu mu. Kekayaan ayahmu yang berlimpah juga dari Allah, dan perantaranya adalah perusahaan ayahmu saat ini. Dan masih banyak yang lainnya yang sebenarnya itu milik Allah, hanya perantaranya adlah makhluk ciptaan-Nya."

"Bisakah kau temukan aku dengan beliau? Lalau bagaimana aku harus berterimakasih? Apa orang seperti aku pantas untuk diciptakan olehnya?"

"Bisa. Tanyalah pada hati nuranimu. Berterimakasih kepada Allah bukan melalui ucapan atau benda lainnya. Cukup hanya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah bukanlah Dzat yang membeda-bedakan makhluk-Nya. Semua yang ada di dunia ini sama derajatnya, hanya amal ibadah yang membedakan. Tak ada kata pantas atau tidak untuk semua ciptaan Allah. Hanya bagaimana kita harus menjalankan apa yang sudah menjadi tugas utama kita sebenarnya sebagai ciptaan-Nya. Percayalah, Allah maha pengampun. Tidak ada kata terlambat untuk menyesali semua yang sudah terjadi selama nafas masih berhembus, bahkan seseorang yang mengatakan taubat pada saat sakaratul maut pun, masih diterima taubatnya oleh Allah. Apalagi kita saat ini yang masih diberi kesempatan."

"Amalan apa saja yang bisa aku lakukan? Maukah kamu mengajariku? Aku berjanji akan membayar untuk semua yang kamu ajarkan."

"Banyak. Mendirikan shalat, berdzikir, berpuasa, dan masih banyak lagi. insyaAllah aku akan membantu mu selama itu menyiarkan kebaikan. Tak perlu membayar untuk segala amalan yang ditujukan untuk Allah. Aku ikhlas untuk melakukannya. Berjanji lah kepada Allah bahwa kelak jika kamu sudah mengerti semua yang diperintahkan-Nya, kamu akan menjalankannya, dan menjauhi apa yang sudah menjadi larangan-Nya."

"Terimakasih. Apa habis ini aku boleh menemui pak Hambali?"

"Tentu. Tapi setelah kamu bisa memahami semua yang harus kamu pelajari dalam hal beragama. Bagaimana? Sanggup?"

"Apa itu lama? Kenapa harus seperti itu? Apa pak Hambali tidak mau melihat orang seperti aku? Orang yang tidak mengerti tujuan hidup, bahkan mengerti diri sendiri saja tidak."

"Bukan seperti itu. Beliau hanya ingin kamu menemukan jati dirimu dengan usahamu sendiri. Untuk masalah lama atau tidaknya tergantung pada niat hati kamu menjalaninya."

Putra sedikit bernafas lega mendengar semua itu.

Semenjak saat itu Putra lebih sering menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku tentang amalan yang diwajibkan maupun yang di sunah kan oleh Allah. Mulai mengerjakan shalat, dan ia juga mulai menjalankan segala hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan sebenarnya. Meski yang ia kerjakan awalnya banyak godaan, seperti kata-kata yang tak ia mengerti, amalan yang terlalu berat, dan pernah ia jatuh sakit karena mencoba menjalankan puasa sunah seperti yang Rahmat jalankan, ia tetap bersemangat untuk terus mencoba hingga ia bisa. Rahmat yang mengajari Putra beberapa akhir ini juga merasa bahwa Putra mengalami kemajuan setelah kejadian beberapa waktu lalu. Terlihat Putra tak pernah menyerah meski terkadang beberapa orang sering mengolok-oloknya. Putra terlihat juga sudah mulai bisa berinteraksi dengan warga sekitar pondok pesantren Al-Wajid seperti membersihkan lingkungan, membuat berjual beli, beternak, dan lain sebagainya. Putra sudah benar-benar seperti menyatu dengan lingkungannya kini, dan mungkin ia sedikit masa lalunya yang kelam.

Malam itu, tepatnya malam 1 Muharram 1435 H, Putra merasa ingin sekali menemui pak Hambali. Entah apa yang membuatnya kini sudah benar-benar yakin tentang apa yang sudah ia pelajari selama ini. Akhirnya, malam itu seusai shalat isya, sengaja Putra tidak kembali ke kamarnya, ia ingin bertemu dengan pak Hambali. Ditunggunya beliau sampai Putra terkantuk-kantuk karena pak Hambali selalu berdzikir hingga larut malam, dan saat itu Putra masih setia menunggu beliau.

Saat Putra sedikit memejamkan matanya, tiba-tiba seseorang memegang bahunya dan membuat Putra membuka matanya kembali, betapa terkejutnya ia karena ternyata itu adalah pak Hambali. Segera ia mengusap wajahnya dan duduk dengan sopan menghadap pak Hambali.

"Maaf pak kyai, saya tidak sopan, menunggu pak kyai sampai hampir tertidur." Ucap Putra seraya menundukkan wajahnya.

"Kenapa harus meminta maaf, nak Putra? Ada apa menunggu? Apa ada perlu?" jawab pak Hambali.

"Pak kyai, saya ingin berterimakasih atas semua yang sudah diberikan selama ini."

"Terimakasih untuk apa? Memang apa yang sudah diberikan selama ini? Jelaskan."

"Banyak pak kyai, mulai dari saya belum mengenal siapa diri saya hingga saat ini saya mulai memahami siapa diri saya dan apa tujuan hidup saya. Siapa pencipta saya dan bagaimana kebesaran-Nya di jagat raya, seberapa sabarnya Sang Pencipta menyadarkan saya yang penuh dengan kesalahan ini. Dan berkat pak kyai kini saya lebih bisa memanfaatkan waktu saya dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. Saya tau, bahwa manusia diciptakan di dunia adalah sebagai khalifah sebagai tugas utamanya. Disini saya juga bisa membedakan mana hal yang hak maupun yang batil."

"Berterima kasihlah kepada Allah SWT, saya hanya sebagai perantara-Nya. Saya turut berbahagia dengan kemajuanmu selama ini. Teruslah berada di jalan-Nya dan menjadi hamba yang taat. Tidak pernah ada kata terlambat sebelum mencoba. Esok adalah tahun baru Islam, mulailah kehidupanmu yang baru dengan semua hal yang baru. Sampaikan kebaikan kepada orang-orang sekitarnya meski apa pun rintangannya. Sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang beriman." Tutur pak Hambali menutup malam 1 Muharram 1435 saat itu.

Kini Putra sudah benar-benar hidup dengan jalan yang benar. Ia tak pernah lalai dalam beribadah, dan ia juga tak pernah sungkan tetap bertanya jika ada sesuatu yang ia tak mengerti. Ia berjanji suatu saat nanti saat ia sudah benar-benar menjadi seseorang yang lebih berguna, ia akan menyampaikan semua ajaran indah Islam kepada orangtuanya. Bukan ia tak mau memberitau sekarang, tetapi orangtua Putra belum memperhatikan Putra sampai detik ini. Putra tak pernah menaruh dendam kepada kedua orangtuanya karena ia berfikir bahwa saat ini Allah sedang menguji sampai mana mereka lalai kepada kewajiban mereka yang kelak akan membuat mereka menyesali semuanya.

Malam itu pukul 02.30, seusai Putra bertahajud, ia memanjatkan do’a hingga air matanya tak sanggup lagi ia bendung lagi, di sela-sela doanya ia teringat kepada orangtua nya yang saat ini entah sedang apa dan apakah memikirkan dirinya yang sudah tidak pernah memberi kabar berbulan-bulan lamanya.

"Ya Allah, dzat yang maha menguasai alam semesta, terimakasih atas semua karunia yang sudah diberikan selama ini. Teriam kasih sudah memberiku kesempatan untuk kembali kejalan-Mu sebelum Engkau memanggilku. Ya Allah, dzat yang maha pengampun, ampunilah dosa-dosaku selama ini baik yang disengaja maupun tidak. Ampuni pula dosa-dosa orang-orang yang hamba sayangi dan tunjukkanlah jalan yang benar untuk mereka. Ya Allah, dzat yang maha pengasih, jagalah kami agar kami selalu ada di jalan-Mu dan jagalah hati kami agar kami tidak terjerumus kepada hal yang batil. Ya Allah, dzat yang maha agung, berikanlah kami kehidupan di hari esok yang lebih baik dari hari lalu, dan jadikanlah hari esok pelajaran untuk hari selanjutnya. Amin Amin Amin ya Robbal Alamin." Doa Putra tertutup dengan bulir-bulir airmata menetes di pipinya. Hari itu merupakan awal ia akan menjadi seorang khalifah yang akan menuntuntun orang-orang yang ia sayangi agar segera menyadari kebesaran Sang Pencipta dan tak lalai lagi dengan kewajiban mereka.

Cerpen Karangan: Diandra Aini

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.