Selasa, 07 Juli 2015

Jenazah Berbalik Arah Di Liang Kubur

Allah tak pernah kehilangan cara untuk menurunkan azab bagi seseorang yang dalam hidupnya berjubel dengan dosa. Karena itu, kita seringkali menjumpai kematian orang yang dhalim dengan merana lantaran menemui "sakaratul maut" berhari-hari. Peristiwa itu cukup mengiris-iris dada, tentunya. Apalagi, jika masih ditambah dengan prosesi pemakaman yang tak lazim, seperti jenazahnya bisa berbalik arah tatkala dimasukkan ke dalam liang kubur. Tak salah, kalau warga seusai kejadian itu mempergunjingkannya bahwa itu sebagai pertanda akan dosa-dosa yang telah diberbuat selama di dunia.

Azab Allah berupa "sakaratul maut" sampai 21 hari dan peristiwa pemakaman yang tak lazim itulah yang dialami Marwan (53 thn, bukan nama sebenarnya), seorang tuan tanah di kampung Sambirejo, Ngawi, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu. Semoga kisah ini dapat menjadi iktibar bagi kita untuk ingat selalu bahwa kematian dan prosesi pemakaman ternyata bisa menjadi tolok ukur akan kebaikan dan keburukan seseorang.

Sakaratul Maut Sampai 21 Hari

Malam tampak kelam di atas kampung Sambirejo. Sebuah kelam yang membuat Suni (47 thn, bukan nama sebenarnya) tiba-tiba saja tersentak kaget. Sebab, di malam Jum`at yang sunyi itu, Suni yang sedang duduk di kursi ruang tengah, tiba-tiba saja dikagetkan suara aneh dan menakutkan yang keluar dari mulut Marwan suaminya yang sedang terbaring sakit.

"Agh……agh… panasssss! Panassssssssssssss!" Demikian suara Marwan dari balik kamarnya. Selain suara seperti itu, juga terdengar jeritan berkali-kali yang tidak jelas di telinga Suni. Jeritan orang yang sedang tercekik lehernya atau tertindih sesuatu yang berat.

Saat mendengar suaminya menjerit Suni langsung berdiri dan berlari ke kamar tempat suaminya terbujur. Memang, sudah tiga hari Marwan sakit parah, sehingga membuat lelaki yang tergolong kaya di kampungnya itu, hanya terbaring di atas kasur. Selama tiga hari, dia hanya bengong menatap langit-langit kamarnya. Apalagi kian hari penyakitnya kian parah.

"Awalnya Marwan hanya merasa jika kepalanya pening, tapi sehari kemudian tiba-tiba tubuhnya begitu lemas. Sejak tubuhnya lemas itulah Marwan hanya terbujur dan terbaring di atas tempat tidur. Dokter yang sempat datang untuk memeriksanya, ternyata tak bisa berbuat banyak, kecuali hanya memberi obat. Tapi obat itu tak banyak berarti. Sebab, tubuh Marwan tetap saja lemas dan tidak bertenaga. Lalu puncaknya terjadi di malam Jum`at, di hari ketiga sejak Marwan jatuh sakit. Dia tiba-tiba menjerit dan meronta-ronta," cerita Ngardi (32 thn, bukan nama sebenarnya) kepada Hidayah .

Untung tak seberapa lama, Suni cepat sampai di kamar Marwan. Tetapi, setelah Suni berada di dalam kamar dan melihat Marwan kejang-kejang, ia seketika tercekat. Kaget, gugup dan panik setengah mati. Tak tahu apa yang harus diperbuat, membuatnya bingung.

Entah dapat dorongan dari mana Suni, secepat kilat Suni mendekati dan memegangi tubuh suaminya. Karena Suni kasihan melihat kondisi suaminya yang mengenaskan dan dari mulut Marwan selalu menceracau dan menjerit-jerit akibat merasa tubuhnya panas. Padahal, malam itu udara dingin sekali….

Tapi, Marwan merasakan tubuhnya panas sekali. "Aduh bu, tubuhku panasssssssssss! Panassssssssssss!" pekiknya keras, dan memecah keheningan malam --sebagaimana ditirukan oleh Ngardi disela-sela wawancara dengan reporter Hidayah.

Lebih panik lagi, saat Suni memegangi tangan suaminya untuk menenangkan, justru mulut Marwan seolah-olah terpelintir dan terkilir sehingga tampak seperti mulut babi. Entah, apa yang sedang dirasakan Marwan saat itu sampai mulutnya tak kuasa mengeluarkan jeritan yang suara keras, kecuali hanya kalimat kesakitan yang tak terkira, "Aduhhhhhhhhhhhhhhh. Panasss, panassssssssssssssss!"

Dari jeritan Marwan yang mengiris dada itu, Masiroh (20 thn, anak sulung Marwan) yang sedang tidur seketika terbangun. Lalu, didorong oleh rasa penasaran akan apa yang menimpa ayahnya, ia segera beranjak pergi ke kamar ayahnya. Tapi betapa terkejutnya, saat ia di kamar ayahnya, menjumpai sang ayah dalam kondisi menegenaskan.

"Ibu, bu….. Ayah kenapa, bu?" tanya Masiroh sesampai di kamar ayahnya.

"Ayahmu… ayahmu, sedang sekarat, nduk! "jawab ibunya dengan gugup. "Cepatlah, kau panggil kiai Mukhid untuk datang ke sini biar beliau mengaji!" pinta sang ibu.

Masiroh tak banyak tanya. Seketika itu, dia langsung keluar rumah dan menemui kiai kampung tersebut. Karena rumah kiai Mukhid tidak terlalu jauh, tidak salah jika dalam waktu sekitar sepuluh menit, kiai tua dan kharismatik itu sudah tiba di rumah Marwan. Seperti Suni dan Masiroh, kiai Mukhid awalnya juga ikut panik.

Tapi ia cepat tanggap dan sadar kalau Marwan sedang dalam keadaaan sakratul maut. Tahu apa yang harus dilakukan, kiai Mukhid langsung menyuruh Suni untuk menyediakan air dan sesaat kemudian menuntun Marwan menyebut nama Allah. Tapi Marwan seperti tak tahu kalau di situ ada kiai Mukhid. Ia masih menceracau dan juga menjerit kesakitan serta merasa kepanasan. "Aduhhhhhhhhhhhhhhh. Panasss, panassssssssssssssss!"

"Tidak tega melihat penderitaan Marwan, kiai lalu mengambil inisiatif membaca al-Qur`an. Tapi, tak ada juga suara yang keluar dari mulut Marwan kecuali erangan, jeritan dan suara aneh akibat dari rasa kesakitan yang diderita. Mulutnya juga seakan terpelintir, terkilir dan matanya melotot sehingga terlihat seolah Marwan menanggung derita yang tak terperi, " kata Ngardi dangan kalem.

Tapi, sang kiai terus saja mengaji di samping Marwan dan berharap ada suasana yang bisa menentramkan. Satu jam, dua jam dan tiga jam telah berlalu. Tetapi harapan sang kiai itu seakan sia-sia. Sebab Marwan, masih juga tidak henti-hentinya menjerit kepanasan. Tak cuma itu, juga menceracau seakan sudah tidak tahu apa-apa lagi tentang keadaan sekitar dan hal itu berlangsung sampai tengah malam dan bahkan hingga menjelang fajar.

Akhirnya, karena merasa sudah capek dan tidak ada hasil, maka kiai itupun pulang ke rumah. Apalagi azan subuh tiba-tiba sudah bertalu dari masjid kampung sehingga membuat kiai Mukhid merasa harus pulang dan meninggalkan Marwan yang terus menjerit kesakitan.

Hari berganti hari dan malam berganti malam, kiai Mukhid itu masih diminta mengaji oleh keluarga Marwan dan tetap saja kesakitan Marwan tidak juga kunjung sembuh. Juga, tak kunjung meninggal pula. Hal itu bahkan berlangsung sampai 21 hari dan keluarga Marwan harus dibuat bingung setiap malam. Selama 21 hari itu pula, Marwan membuat malam-malam di kampung Sambirejo harus ramai, gara-gara ulahnya yang selalu menceracau dan menjerit. Suasana malam selalu mencekam akibat jeritan Marwan sepanjang 21 hari berturut-turut.

Akhirnya, di malam ke-21 sejak ia sakratul maut, tepat di malam Jum`at (3 minggu kemudian), Marwan menghembuskan nafas terakhir. Itu pun setelah dia merenggang nyawa dengan menceracau dan menjerit-jerit tak karuan, karena lehernya seakan ada yang mencekik. Entah apa yang dirasakan Marwan saat itu, tapi ia benar-benar seperti tersiksa sekali….

Jenazah Berbalik Arah

Setelah prosesi perawatan jenazah selesai, esok harinya, tepat pada pukul 14.00 WIB, almarhum diusung ke tempat terakhir untuk dikebumikan. Anehnya, sekalipun ia merupakan orang terkaya di kampung Sambirejo, ternyata tidak banyak juga warga kampung yang datang melayat.

Siang bersinar terang dan terik matahari seakan-akan membakar kulit para pengantar ke tempat pembaringan terakhir. Angin bertiup kencang dan iring-iringan orang pengantar jenazah terus berjalan. Bergantian mereka mengusung keranda. Hanya karena jarak antara pekuburan dengan rumah Marwan tak terlampau jauh, maka dalam hitungan waktu yang tak kurang dari 20 menit, pengantar jenazah sudah sampai di pemakaman.

Lalu, lima warga kampung Sambirejo membuka keranda dan tiga orang lain lagi turun ke liang kubur untuk menyambut jenazah Marwan dari liang kubur. Angin, masih kencang berhembus dan terik mentari membuat kulit para pengantar di pekuburan itu seakan ditebas hawa panas dari neraka. Sebentar kemudian, jenazah sudah siap dimasukkan ke dalam liang lahat tetapi, ada semilir angin yang terasa aneh tiba-tiba menyeruak saat angin berhembus. Saat itu pula, jenazah dimasukkan ke liang kubur.

Setelah jenazah berada di liang kubur, kain kafan di bagian kepala (di arah utara) lalu dibuka. Tetapi, dijumpai keanehan yang benar-benar membuat mereka harus terbengong-bengong. Pasalnya, tatkala kain kafan di bagian kepala dibuka, ternyata yang dijumpai justru kedua kaki almarhum (di bagian utara). Padahal, saat jenazah dimasukkan ke liang lahat tadi, orang sudah yakin kalau kepala almarhum ditaruh di utara, sedang bagian kaki diletakkan di Selatan. Tapi kenyataannya saat kain kafan dibuka, justru jenazah telah berbalik arah. Dengan kata lain, kepala yang seharusnya di utara, saat kain kafan dibuka ditempati posisi kaki.

Jenazah lalu ditutup kain kafan lagi dan diputar. Tapi saat kain kafan dibuka kembali, ternyata jenazah berbalik arah lagi karena dijumpai kaki jenazah di sebelah utara dan kepala di arah Selatan. Bingung dengan apa yang terjadi, warga kampung Sambirejo yang mengantar jenazah akhirnya sepakat untuk tidak menutup kain kafan dan langsung membalikkan begitu saja jenazah Marwan. Baru setelah itu, kejadian aneh tidak lagi terulang. Jenazah sudah tidak terbalik lagi, sehingga warga bisa menutup papan dan kemudian menimbun dengan tanah.

Prosesi pemakaman usai saat adzan asar berkumandang dari masjid kampung. Warga kampung yang mengantar lalu pulang, dengan memendam sejuta pernyataan tentang misteri jenazah yang berbalik arah. Kenapa hal itu bisa terjadi?.

Kemaruk Tanah dan Culas

Sebagaimana dituturkan oleh Ngardi kepada Hidayah, Marwan itu orangnya dikenal sebagai penjahat tanah. Dia tidak saja dikenal kaya, bahkan tergolong terkaya di kampung. Dia memiliki banyak tanah, tetapi masih saja merasa kurang cukup. Tak salah jika berbagai cara untuk kaya, ditempuh dengan trik yang benar-benar culas.

"Bagaimana tidak culas? Karena dia memiliki banyak tanah, maka dia dengan mudah mendapatkan uang dengan berdalih menjual tanahnya. Seringkali, ia menjual tanah kepada orang, tapi saat transansi berlangsung dia meminta uangnya terlebih dulu tapi menjanjikan tanah yang dijual itu akan diserahkan nanti seusai panen. Karena berhubungan dengan uang, maka pembeli dihinggapi sebuah kehawatiran jika nantinya dibohongi," cerita Ngardi.

Tapi, apa kata Marwan? "Masak kamu tak percaya dengan saya? Saya tidak mungkin berbohong. Saya kan orang Islam! Percayalah, kalau saya tak akan menyerahkannya nanti usai panen, saya berani tidak diakui sebagai umat nabi Muhammad!" kata Marwan kepada setiap pembeli tanahnya.

"Mendengar janjinya itu, si pembeli akhirnya percaya. Tapi saat panen tiba, tanah itu tidak juga diserahkan kepada yang berhak (pembeli tanah), melainkan masih ditanami lagi dengan tanaman baru. Anehnya, saat janjinya ditagih lagi, ia dengan lihai berkelit kalau tanah sudah terlanjur ditanami dan berjanji akan menyerahkannya nanti usai panen," kata Ngardi kepada Hidayah saat menceritakan keculasan Marwan.

Keculasan itu sering dan kerapkali dilakukan, bahkan tak jarang sebelum hak pembeli diberikan, sudah keburu meninggal dunia. Dari keculasan seperti itu, ia kian memiliki banyak kekayaan dan tanahnya yang luas tak juga kunjung berkurang.

Selain itu, dia juga tergolong kaya sejak lahir. Sebab, dia adalah anak orang terkaya di kampung Sambirejo, sehingga tanah warisan yang diperolehnya, berhektar-hektar. Tetapi, keluasan tanah dari hasil warisan itu ternyata tidak membuatnya merasa cukup, melainkan masih merasa kurang sehingga tanah warisan dari saudaranya yang lebih dulu meninggal dan diwasiatkan kepadanya untuk dijaga agar nantinya diserahkan kepada keponakannya yang yatim juga diembat habis.

Keculasan itu ternyata masih belum cukup sebagai dosa-dosa besar yang layak untuk ditinggalkan, tetapi lebih dari semua itu ia juga mengambil pesugihan di gunung Lawu. Hal ini sudah tidak menjadi rahasia lagi di kampung Sambirejo, melainkan sudah menjadi buah bibir warga. Apalagi melihat tanah di hampir semua wilayah desa Sambirejo adalah miliknya.

Tak salah, jika warga sudah sejak lama membencinya dan tak suka kepadanya. Hanya karena ia kaya, maka kadang dia bisa berbuat semaunya dengan uangnya. Selain itu, ia juga berlindung di bawah ketiak kiai Mukhid, agar dikenal sebagai orang yang shaleh.

Akhirnya, suatu hari takdir tak dapat ditolaknya dan kematian juga suatu keniscayaan yang tak dapat ditepisnya. Ia tiba-tiba sakit. Ada kabar, kalau sakitnya itu dikarenakan dia diteluh oleh orang yang pernah dikecewakannya. Ada juga kabar yang santer lagi terdengar, ia sendiri kerap meneluh orang dan karena teluh yang dikirim itu tidak bisa menembus yang dituju, maka kembali kepada dirinya sendiri.

Jelasnya, ia sakit dan 3 hari kemudian mengalami sakaratul maut. Anehnya, sakaratul maut yang dialami itu ternyata berlangsung sampai 21 hari, sehingga ia mengalami derita rasa sakit yang tak terkira, pedih dan menyanyat hati!!!!

B O X

Ngardi (32 thn), keponakan Marwan

Dia itu dikenal sebagai penjahat tanah

Saya kenal betul dengan Marwan karena ia itu paman saya. Di kampung, ia itu dikenal sebagai penjahat tanah. Karena itu, saat menjelang ajal ia mengalami sakratul maut sampai 21 hari, orang kampung menganggap itu balasan dari Tuhan.

Juga, soal prosesi pemakaman yang aneh, di mana saat jenazahnya ditaruh di dalam liang kubur dan kain kafan di bagian kepala dibuka, ternyata jenazah berbalik arah. Bagian kepala yang seharusnya di utara, ternyata ditempati kaki. Padahal, saat dimasukkan ke liang kubur sudah dipastikan kepala jenazah di utara. Itu terulang lagi untuk kedua kalinya dan baru tidak terulang untuk yang ketiga kalinya setelah jenazah tidak ditutup dengan kain kafan.

Tidak salah lagi, sakaratul maut sampai 21 hari dan keanehan prosesi pemakaman itu menjadikan orang tahu, jika kematiannya selain tragis dan mengundang heran warga, ternyata juga menjadi buah bibir di kampung Sambirejo akan keburukan-keburukan di masa lalunya selama hidup dan sering ingkar janji.

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.