Kamis, 18 Juni 2015

Punggung Jenazah Berwarna Biru Dan Memar

Kematian yang tidak wajar yang dialami oleh seseorang kerapkali menjadi cerminan bagaimana orang itu menjalani kehidupan selama di dunia ini.

Jika selama hidup ia berprilaku buruk dan kemaruk harta lewat pesugihan, maka ketika orang itu mati dengan mengenaskan, orang umum pun menghubungkan kematian yang tak wajar itu sebagai hukuman dari Allah.

Cerita di bawah ini, adalah kisah seorang petani cengkeh asal kampung P, di wilayah Jawa Barat yang di penghujung hayatnya mengalami kematian mendadak dan mengenaskan sebab punggungnya berwarna biru dan memar-memar.

Semoga kisah ini bisa menjadi cermin bagi kita untuk berbenah dalam menata hidup yang lebih baik.

Malam Sehat, Paginya Meninggal

Di akhir bulan Februari 2004, tatkala malam sudah mulai larut, Pak Amir (50 tahun, bukan nama sebenarnya) yang dikenal sebagai seorang petani cengkeh terpandang dan kaya di kampung P sedang memasuki pekarangan rumahnya. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Dia pulang selarut itu, karena barusan menengok kakak kandungnya yang sudah lama menderita sakit usus buntu, namun tidak juga kunjung sembuh.

Adi (17 thn), anak bungsunya yang saat itu belum tidur, segera membukakan pintu. Tetapi setelah pintu dibuka, sang ayah langsung ngeloyor ke kamar bagian belakang. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya dan Adi menutup kembali pintu rumah. Pada malam itu, Pak Amir sengaja tak masuk ke kamarnya, karena di kamarnya ada Surti (46 tahun), istrinya yang sedang terbaring kaku didera sakit kencing manis hampir 1 tahun lalu dan belum dikaruniai kesembuhan. Dan sejak istrinya sakit itulah, pak Amir tidur di kamar bagian belakang.

Langkah Pak Amir tegak, tak seperti pada malam biasanya tatkala pulang dari warung dalam kondisi mabuk. Ya, malam itu pak Amir benar-benar terlihat sehat dan tak kurang satu apa pun. Hanya saja, di wajahnya nampak ada guratan kesedihan, mungkin memikirkan nasib kakaknya yang sakit dan sempat menjalani operasi usus buntu, tapi gagal. Sementara, semua biaya itu menjadi tanggungannya.

Setelah berjalan beberapa langkah, Pak Amir sudah berada di depan pintu kamarnya. Dengan pelan, ia membuka pintu dan memasuki kamar seraya menutupnya tanpa mengunci kamar. Adi yang sedari tadi memperhatikan ayahnya, tak punya pikiran apa-apa. Adi mengira sang ayah akan langsung beranjak tidur. Sebab malam sudah hampir larut. Apalagi setelah itu, Adi tidak mendengar lagi suara apa pun dari kamar ayahnya. Tak pelak, jika malam itu Adi mengira ayahnya sudah bersiap untuk tidur dan tidak ingin diganggu.

Malam kian larut dan Adi pun akhirnya tertidur. Tapi tepat pukul 03.00 WIB, Adi tiba-tiba dibuat tersentak. Dari kamar ayahnya, ia mendengar dengkuran keras. Dengkuran itu cukup keras sehingga Adi sempat terheran, "Tidak biasanya ayah mendengkur sekeras ini. Ada apa ya?" bisiknya dalam hati sebagaimana ditirukan Uhty (24 thn) kepada Hidayah.

Memang, dengkuran itu dirasakan Adi lain dari biasa. Dengkuran itu bahkan seperti sebuah jeritan yang tertahan, namun tidak jelas. Hanya karena Adi tahu bahwa saat bapaknya beranjak tidur dalam kondisi sehat dan tak menunjukkan sakit, maka ia hanya berpikiran jika ayahnya saat itu mungkin mendengkur lantaran terlalu kecapekan. Apalagi Adi merasa masih ngantuk, sehingga tatkala tak lagi didengar dengkuran menggema lagi setelah itu, ia mengira ayahnya sudah pulas tidur kembali. Lalu, ia juga memejamkan mata.

Waktu berlalu dengan cepat dan matahari sudah hampir muncul dari balik bukit. Saat itulah, Adi bangun --tepat pukul 05.30 WIB. Tetapi di ruang tengah, Adi tak menjumpai sang ayah. Padahal saat-saat seperti itu biasanya ayahnya sudah bangun dan duduk-duduk sambil menikmati kopi. Karena itu, Adi mencoba menengok ke kamar ayahnya untuk memastikan apakah ayahnya masih tidur atau sedang pergi ke mana.

Tetapi saat ia melongokkan kepala ke kamar ayahnya, betapa terkejutnya Adi setelah melihat ayahnya tidur dalam keadaan tengkurap. Lebih terkejut lagi, Adi melihat ayahnya tak memakai baju dan nampak jelas punggung sang ayah berwarna biru, penuh dengan memar-memar seakan-akan habis dipukuli. Penasaran, membuat Adi mendekat. Tapi pemandangan menyeramkan yang Adi saksikan dengan luka memar di punggung ayahnya kian membuatnya merasa merinding. Seketika, Adi terpekik, "Aaaaghhh…"

Lalu, ia mencoba membangunkan ayahnya. Sayang, tatkala Adi menggoyang-goyang tubuh ayahnya, tubuh tengkurap itu tetap tidak bergerak. Tetap kaku. Meskipun demikian, ia terus menggoyang-goyang tubuh ayahnya dan berkata, "Ayah, bangun, yah!"

Tapi sang ayah tak juga bergeming. Tak juga bangun dan tak bergerak sedikitpun.

"Adi lalu berlari keluar rumah untuk menemui pak Kosim (ayah saya, 40 thn), adik ipar pak Amir yang rumahnya di depan rumah Adi. Saat itu, kami sekeluarga sedang sarapan sehingga waktu Adi tiba, lalu bercerita bahwa ayahnya tidak bangun ketika digoyang-goyang, ayah saya (juga saya dan adik) segera menuju ke rumah Pak Amir," tutur Uhty.

Sesampai di rumah pak Amir, pak Kosim langsung menuju kamar bagian belakang. Tetapi saat masuk kamar Pak Amir, betapa terkejutnya Pak Kosim dengan apa yang ia lihat. "Ayah dan saya melihat pak Amir tengkurap. Punggungnya berwarna biru dan penuh memar. Memang, saya melihat cuma sekilas dan setelah itu saya tidak ikut masuk karena saya takut," kata Uhty lebih lanjut.

Saat masuk itulah, Pak Kosim lalu mendeteksi detak jantung pak Amir. Tak berdegup sehingga dia tahu jika pak Amir sudah meninggal. Kendati demikian, ia tetap mengundang dokter dari puskesmas, karena merasa ada yang aneh berkaitan dengan punggung pak Amir yang berwarna biru dan penuh memar.

Tak lama kemudian, dokter dari puskesmas datang. Dokter itu lalu mengidentifikasi luka pak Amir dan ia mengatakan pak Amir sudah meninggal. Kontan, kampung P menjadi gempar atas berita meninggalnya Pak Amir itu. Berita kematiannya yang tak wajar karena punggungnya berwarna biru dan memar-memar, juga menjadi gunjingan warga kampung.

Berkelakuan Buruk

"Dulu… saat masih muda, Pak Amir dikenal sebagai pemuda yang gagah, tinggi dan juga berwajah tampan," demikianlah yang dituturkan oleh Uhty pada Hidayah. Tak ayal jika banyak gadis kampung yang tertarik. Pak Amir juga menyadari akan hal itu sehingga saat Surti, seorang janda beranak satu yang cukup kaya benar-benar tertarik padanya, ia pun tak berpikir panjang untuk menikahinya. Apalagi saat itu ia hanyalah seorang penjual sayur (di Jakarta) yang hidupnya susah.

Pilihannya menikahi Surti itu memang sempat mengundang banyak tanya, mengingat Surti seorang janda dan pak Amir adalah jejaka. Tapi ia hanya menanggapi, "Biar janda, tapi yang penting ia kaya." Itu jawaban yang diberikan pada penduduk setiap kali menyindirnya, sebagaimana ditirukan Uhty.

Sejak menikah itu, ternyata hidup pak Amir berubah total. Ia yang dulunya pemuda biasa-biasa saja, setelah menikahi Surti menjadi kaya raya. Sebab, tidak disangkal oleh semua warga jika Surti telah mewarisi harta dan sejumlah tanah ayahnya. Apalagi, ayah Surti adalah orang terkaya di kampung P. Tak salah, jika status sosial pak Amir kemudian berubah seratus delapan puluh derajat. Dari seorang pedagang sayur, kini jadi pemilik tanah yang luas.

Tetapi, seiring dengan melimpahnya harta itu, rupanya pak Amir tidak menjadi orang yang punya kepedulian dan ingat akan siapa diri pak Amir sebelumnya. Setelah itu watak asli pak Amir justru muncul. "Ia jadi orang yang sombong. Tak jarang, di tengah masyarakat ia selalu menunjukkan kekayaannya dan selalu bertengkar dengan orang lain. Apalagi jika berkaitan dengan masalah tanah. Ia tidak mau kalah," kata Uhty.

Lalu seiring dengan berjalannya waktu lahir dua anak laki-laki, Anto (25 thn) dan Adi (17 thn). Tapi sayang seribu sayang, sebagai seorang ayah rupanya pak Amir tak bisa menjadi ayah yang baik. Pada satu sisi, ia memang ingin memanjakan anaknya, tapi di sisi lain ternyata hal itu membuat kedua anaknya tumbuh menjadi anak yang nakal saat remaja.

Menurut cerita Uhty, "Anton pernah mencuri di pasar dan tertangkap polisi sehingga dimasukkan ke penjara. Hanya saja, karena pak Amir kaya, dia dengan mudah menebusnya dengan uang. Anto pun keluar. Tidak jauh berbeda dengan kelakuan Anto, Adi juga tumbuh menjadi remaja nakal. Suatu hari, Adi juga pernah mencuri ayam Ikun (50 thn), tetanggaku. Karena Ikun tahu yang mencuri ayam itu Adi, maka ia bercerita kepada orang sekampung."

Rupanya, Ikun yang sudah kehilangan ayam ternyata harus bernasib sial. Saat berita yang disebarkan itu sampai ke telinga pak Amir, dia lalu mendatangi Ikun dan menghajarnya. Dengan kemarahan yang membabi buta, ia memukuli Ikun. Apalagi, saat itu pak Amir sudah kolap.

"Ya, Allah! Sungguh aku tidak tega melihat kejadian itu. Tapi aku takut untuk melerai karena pak Amir kulihat dalam keadaan kolap dan tidak ada orang lain di situ. Aku hanya bisa menangis dan berdoa, ‘Semoga Tuhan melindungi Ikun’," cerita Uhty yang melihat kemarahan pak Amir sewaktu menyiksa Ikun. Apalagi saat itu, istrinya menyulut kemarahan suaminya dengan berkata, "Ya pak, masak anak kita dituduh mencuri. Apa kita dikira tidak mampu membelikan Adi ayam, apa…?" tutur Uhty menirukan apa yang dikatakan Surti.

Selain itu, seperti dikatakan Uhty, pak Amir juga sering mabuk. Apalagi, saat anaknya sering membuat ulah. Ditambah lagi, hartanya yang lambat laun terkurangi dan hampir habis membuat dia pusing. Apalagi istrinya termasuk wanita yang boros dan konsumtif. Saat sakit juga telah menghabiskan banyak biaya. Belum lagi, ditambah beban obat untuk kakaknya. Saat-saat dirundung masalah yang menghimpit itu, ia kemudian memilih menenggelamkan diri dengan minum. Ia mabuk dan tak jarang pulang tengah malam dalam keadaan teler.

Mengambil Jalan Pintas

Selain itu, rupanya ia juga tidak ingin jatuh miskin. Karenanya, ia kemudian memilih jalan pintas untuk kembali kaya, namun jalan yang diambil itu lewat jalan pesugihan. "Saya dengar, ia datang ke suatu tempat yang oleh orang-orang di kampung dikenal sebagai tempat untuk mencari pesugihan. Ia datang ke sana ingin ngaji (meraih –red) kekayaan," ucap Uhty.

"Tapi, rupanya syarat yang diperuntukkannya buat pesugihan itu tidak dipenuhi oleh pak Amir, sehingga ia kemudian meninggal mendadak, dengan kondisi mengenaskan karena punggungnya berwarna biru dan penuh dengan memar-memar," cerita uhty selanjutnya.

Itulah penderitaan seorang yang sengaja mencari pesugihan, namun tak kesampaian karena Allah ternyata berkehendak lain. Sialnya, saat keinginan untuk kaya belum terpenuhi, ia keburu dipanggil yang Maha Kuasa. Dia mati mendadak, punggungnya berwarna biri dan penuh memar seakan habis dipukuli. Sungguh mengenaskan!!!

Derita Sang Istri

Siang itu, sebagaimana dikehendaki pihak keluarga, jenazah pak Amir dimakamkan. Tak salah, usai almarhum dimandikan, dikafani dan dishalati, tepat pukul 14.00 WIB, jenazah diangkut untuk dikebumikan ke tempat peristirahatan terakhir. Memang, tidak banyak warga yang melayat untuk mengantar jenazah pak Amir. Sebab, ia tak disukai oleh warga.

Tetapi lebih dari semua itu, ketika jenazah diberangkatkan, justru pemandangan tragis terjadi di sebuah kamar yang tidak begitu luas di mana Surti terbaring tak berdaya. Surti, istri almarhum hanya diam, seolah tak tahu apa yang sedang terjadi. Dengan memendam pilu hati yang mungkin cukup pedih jika saja hal itu berlaku bagi orang lain, tetapi Surti saat itu hanya memandang ke langit-langit dengan tatapan kosong.

"Istrinya itu seperti tak bisa menangis. Memang, Surti terlihat tenang-tenang saja saat suaminya meninggal dan hendak diberangkatkan ke tempat pembaringan terakhir. Ya, semua itu karena memang pikirannya sudah tidak mengetahui lagi apa yang terjadi…," kata Uhty.

Kejadian yang menimpa istri pak Amir itu oleh orang-orang kampung juga dipahami sebagai balasan Allah, karena karakter istrinya juga tak beda jauh dengan pak Amir. Mungkin itu derita lain yang harus diderita Surti.

Ia sakit parah dan baru meninggal 1 tahun kemudian setelah melewati penderitaan yang panjang….

BOX

Uhty (24 tahun), keponakan Pak Amir

Kematian Tragis itu akibat karma

Warga kampung P, tidak menduga jika pagi itu pak Amir akan meninggal mendadak. Sebab, malamnya ia tak menunjukkan tanda-tanda mau menemui ajal. Justru, malam itu pak Amir sempat nengok kakaknya yang lama sakit tapi tidak juga kunjung sembuh. Karena itu, berita kematian pak Amir membuat kampung P geger.

Semua itu, bermula ketika pagi sekitar 05.30 WIB, Adi berlari keluar rumah dengan tujuan menjumpai pak Kosim, ayah saya yang sedang sarapan. Dengan gugup, di depan ayah Adi bercerita bapaknya terbaring kaku dengan kondisi tubuh tengkurap dan punggungnya berwarna biru serta penuh dengan memar seakan habis dipukuli.

Kontan, ayah saya kaget dan langsung ke rumah Adi. Saya dan adik saya juga ikut. Setelah sampai di kamar pak Amir, betapa terkejutnya saya karena tubuh pak Amir saya lihat berwarna biru, memar dan terlihat kaku. Cuma saya tidak berani mendekat karena saya takut. Ayah, kemudian menyuruh orang untuk memanggil dokter dari puskesmas. Setelah si dokter memeriksa pak Amir, ia berkata bahwa pak Amir memang sudah meninggal. Tahu kalau pak Amir meninggal, kampung P lalu menjadi geger.

Seiring dengan kabar kematian itu, juga tersiar "kabar miring" bahwa soal kematian mendadak dan punggung yang berwarna biru dengan penuh memar itu akibat karma. Sebab, pak Amir dikenal oleh warga berkelakuan buruk. Ia selain sombong, juga pemabuk dan tak bisa mendidik anak. Lebih dari itu, ia juga diketahui saat hartanya hampir habis ternyata ingin menjadi kaya kembali lewat jalan pesugihan. Tapi syaratnya tidak bisa dipenuhi sehingga dia akhirnya meninggal mendadak.

Saat penguburan jenazahnya, ternyata tidak banyak yang hadir. Lebih mengenaskan, justru saat jenazah pak Amir mau diberangkatkan ke tempat pembaringan terakhir istrinya seperti tak bisa menangis. Ia seperti tak tahu apa yang sedang terjadi dan seolah-olah ia sudah tidak mengetahui apa yang terjadi. Seperti hilang ingatan…

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.