Rabu, 13 Mei 2015

Biksu Yang Memumikan Dirinya Sendiri

Mumi, siapa yang tidak pernah mendengar cerita tentang mumi, saya yakin pembaca sekalian pasti sudah pernah mendengar mengenai mumi. Tapi, cerita mumi yang akan saya bawakan kali ini agak berbeda, dan mungkin akan terdengar aneh bagi kalian. Karena mumi ini bukan seperti layaknya mumi biasanya, yang berupa orang meninggal yang dimumikan, melainkan berupa manusia yang masih hidup yang memumikan dirinya sendiri.

Mau tahu kisah lengkapnya? Ayo sama-sama kita lihat di bawah Sokushinbutsu, sebuah istilah untuk mumi yang satu ini, tidak seperti mumi Mesir atau lainnya yang disebut miira (sebuah kata yang berasal dari bahasa Portugis).

Berlainan dengan mumi Mesir, mumi Jepang ini tidak dibalsem setelah kematian orang tersebut. Sokushinbutsu berarti "Buddha hidup". Untuk mencapai status tinggi ini, biksu dilatih selama sebagian besar hidup mereka di pertapaan Mokujiki. Dalam menunjang kehidupannya mereka hanya mengkonsumsl air dan kacang-kacangan dan melakukan meditasi sepanjang hari.

Proses ini membuat mereka kehilangan sebagian berat tubuh sebanyak-banyaknya selama mereka tetap hidup. Begitu para pertapa telah merasa siap dan setelah berpusa selama berminggu-minggu, mereka kemudian dikubur hidup-hidup dalam kotak kayu di dalam tanah dan dibiarkan untuk bermeditasi. Proses mumikasi dimulai dan akhirnya menuju kematian. Seribu hari kemudian para pertapa yang telah terpendam ini digali oleh murid-murid mereka dan jika penampilan mereka masih belum berubah, mereka akan diberi status Sokushinbutsu. Sekarang, praktek Sokushinbutsu dilarang oleh hukum, karena praktek Ini merupakan bentuk bunuh diri.

Mumi ini masih dipanggil oleh beberapa penduduk setempat sebagai "Kami-sama", bisa diterjemahkan sebagai "Tuhan"atau "dewa". Hal ini mungkin tampak aneh bagi dunia Barat, tetapi istilah ini sebenarnya cukup luas dan biasa diterapkan dalam Shinto, atau status dalam kekaisaran Jepang dan tidak ada hubungannya dengan pandangan keagamaan umum di dunia sekarang.

Mumi-mumi Jepang ini ditemukan di sekitar daerah Yamagata, di wilayah Tohoku (Jepang Utara).

Mungkin tidak lebih dari enam yang ditemukan. Yang paling terkenal berada di salah satu kuil bernama Dainichibou Ryusui-ji (Shingon) di kota Tsuruoka. Ini adalah mumi dari rahib Daijuku Bosatsu Shinnyokai-Shonin (1687-1783). Setelah 70 tahun hidup sebagai seorang pertapa, dan menjadi sokushinbutsu pada usia 96, setelah 42 hari puasa berturut-turut, Mumi lainnya dapat dilihat di kuil Nangaku-ji, juga di Tsuruoka, ketiga di Zoukou, Zen Soutou, di kota Shirataka, dan yang keempat di kuil Kaikou-ji, Jisan sekte Shingon, di kota Sakata.

Di pegunungan Tibet, 12.000 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Giu village di Himachal Pradesh, India. Terdapat sebuah rumah kecil yang di dalamnya terdapat sebuah mayat, tapi mayat ini tidak seperti yang lain. Diyakini sejak berabad-abad yang lalu, mayat ini tidak pernah membusuk. Warga sekitar memujanya seperti dewa. Siapa dia? Apa rahasianya? Mungkinkah benar? Karena beberapa penduduk setempat mengatakan, bahwa orang ini sebenarnya memumikan dirinya sendiri.

Profesor Victor Mair, seorang antropolog dari Universitas Pennsylvania dan seorang ahli dalam Buddhisme memimpin sebuah tim yang terdiri dari Profesor Margaret Cox, seorang forensik antropolog dan Bruno Tonello seorang ahli radiograf. Mumi ini terletak dekat dengan salah satu daerah yang paling sensitif di dunia internasional, yaitu perbatasan antara India dan Cina. Akses ke situs sangat dibatasi dan mereka hanya akan memiliki beberapa jam yang berharga untuk melakukan tes.

Selama ribuan tahun, rahib Buddha berkumpul disini, di lembah-lembah terpencil yang tidak dapat diakses hanya untuk mempelajari ilmu roda kelahiran kembali dan seni mendekati kematian. Manuskrip kuno Tibet menjelaskan bagaimana mereka akan memasuki alam rahasia yang lama telah hilang dari pikiran manusia. Tubuh mumi dari orang Tibet ini ditemukan secara kebetulan ketika dua petugas patroli perbatasan India dikirim untuk memperbaiki jalan di Lembah Spiti yang rusak akibat gempa bumi. Ketika tim Profesor Victor Mair mencapai rumah terpencil yang merupakan lokasi dan melihat mumi untuk pertama kalinya, mereka kagum pada keadaan baik dari tubuh yang diawetkan. Lebih dari itu, yang lebih menarik lagi adalah karena tidak ada bukti teknik pembalseman tradisional sebagaimana mumi yang kita kenal seperti yang ada di mesir.

Tim ini semakin bingung dengan posisi aneh mumi ini dan berharap bahwa foto sinar-X mungkin bisa membantu mereka memastikan jika posisi tersebut

telah dibuat sebelum. kematian, atau sebelum menjadi mumi. Kelengkungan tulang belakang dan postur , umum menunjukkan ciri-ciri kehidupan biarawan. Setiap hari, hidup para biarawan dimulai dengan nyanyian doa-doa suci, jam demi jam mereka membacakan ayat-ayat agama, yang dikenal sebagai mantra. Bahkan sebagai biarawan-biarawan muda, anak laki-laki harus belajar untuk

Mengendalikan pikiran melalui meditasi sederhana. ia untuk menguasai disiplin ilmu meditasi yang paling kuat, disiplin mental yang paling berbahaya di Tibet. Apakah postur mumi menunjukkan bahwa ia mengejar disiplin ilmu ini ketika dia meninggal? Dan apa peranan sabuk kain aneh yang dipakai para biarawan ini? Sejak zaman kuno, biksu telah menggunakan tali sebagai alat bantu meditasi, atau ikat pinggang untuk menahan tubuh mereka dalam posisi yoga yang sulit. Tetapi posisi tali mumi yang berada di sekitar leher, sangat sulit untuk dijelaskan.

Tim kembali ke Inggris untuk melanjutkan tes di laboratorium, namun Victor tetap tinggal di belakang dan melakukan kunjungan ke salah satu sekte tertua Buddhisme Tibet. Nyingmapa adalah para penjaga dari ilmu meditasi tantra yang paling rahasia. Viktor lalu bertemu dengan Tulku Spiti, pemimpin sekte spiritual dan master dari meditasi tantra. Victor bertanya kepadanya tentang sikap aneh posisi mumi dan Tulku mengatakan bahwa sabuk membantu dirinya menjaga posisi meditasi, dengan lutut ditarik ke dada.

Tulku juga menunjukkan bahwa biarawan itu mungkin telah mempraktekkan salah satu bentuk meditasi tertinggi yang disebut zolk-shun. Postur yoga seperti ini juga menggunakan sabuk meditasi untuk membebaskan tubuh dan dapat melakukan perjalanan jauh ke dalam pikiran. Teknik ini diyakini menciptakan kekuatan fisik yang luar biasa, begitu kuat dan berbahaya hingga yang menguasainya hanya akan meneruskannya pada secara lisan kepada seorang biarawan pada suatu waktu tertentu saja. Hal ini juga menunjukkan bahwa praktisi zolk-shun dapat memanfaatkan pikirannya dengan cara yang luar biasa pada saat ia meninggal.

Di Boston, Dr Herbert Benson dari Harvard Medical School yang melakukan eksperimen pada rahib Buddha dari biara-biara Tibet untuk menilai efek dari meditasi pada metabolisme tubuh. Penelitiannya telah memberikan wawasan yang luar biasa bahwa cara berpikir dapat mengubah fungsi tubuh. Dia telah menemukan bahwa bahkan dengan meditasi sederhana, para biarawan dapat mengurangi konsumsi oksigen mereka hingga 60%.

Para biarawan yang berlatih Tumo, salah satu yoga untuk mengeluarkan panas dari dalam tubuh dapat meningkatkan temperatur kulit mereka sampai ke titik 40°C. Dalam percobaannya, mereka dibungkus dengan lembaran kain basah yang dingin, dan para biarawan ini bisa meningkatkan suhu tubuh mereka ke tingkat di mana lembaran kain ini akan menguapkan air dan mengeringkan kain yang menutup badan mereka. Victor mempertimbangkan kemungkinan bahwa jika para biarawan bisa mengeringkan lembaran kain basah dengan teknik visualisasi panas, maka mungkin mumi ini memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan hal yang sama untuk mengeringkan tubuhnya.

Victor akhirnya mencoba mencocokkan potongan-potongan teka-teki, tidak di Tibet, tetapi di Jepang. Para biksu Budha Jepang telah lama melakukan ritual pengorbanan diri untuk meringankan beban rakyat mereka. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa puasa menyebabkan organ-organ internal dan otot menyusut, sehingga menghancurkan bakteri dalam ususnya. Dengan tidak adanya mikroba yang menggerogoti mayatnya, maka secara otomatis tubuh biksu-biksu ini dapat awet tanpa perlu dibalsem. Victor lalu menerima berita dari Inggris mengenai mumi Tibet, tes karbon telah mengungkapkan bahwa mumi Tibet menunjukkan hasil kembali ke tahun 1475, artinya usianya 500 tahun jauh lebih tua dari mumi Jepang. Hasil laboratorium juga menunjukkan bahwa tingkat nitrogen yang tinggi pada mumi menunjukkan biarawan itu sangat kekurangan nutrisi ketika ia meninggal. Fakta yang cocok dengan teori mumi Jepang.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa biksu-biksu ini dapat menjadi mumi karena selama bertapa dan berpuasa, organ-organ dalam menghan­curkan bakteri dalam tubuh sehingga tidak ada lagi bakteri yang seharusnya membuat tubuh membusuk. Dan semua ini dilakukan hanya sebagai satu bentuk pengorbanan diri demi mengurangi beban rakyat mereka. Hmm, saya jadi penasaran, apakah di jaman sekarang ini masih ada orang yang rela berkorban demi rakyatnya ya?

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.